PENDAHULUAN
Pembangunan
merupakan bentuk perubahan sosial yang terarah dan terencana melalui
berbagai macam kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf
kehidupan masyarakat. Bangsa Indonesia seperti termaksud dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 telah mencantumkan tujuan pembangunan nasionalnya.
Kesejahteraan masyarakat adalah suatu keadaan yang selalu menjadi cita-cita
seluruh bangsa di dunia ini.
Kebijakan
pembangunan di laksanankan di daerah dalam suatu kota adalah bagian integral
dari pembangunan nasional yang di arahkan untuk mengebangankan daearah dan
melaraskan laju pertumbuhan suatu wilayah yang bertujuan untuk meningkatakan
taraf hidup dan kesejatraan masyarakat. Otonomi dearah dapat mengelola kegiatan
pembangunan berdasaarkan potensi yang ada pada sumber daya alam dan sumber daya
manusia daerahnya.
Seiring
dengan di berlakukan otonimi daerah, pemerinta daerah dapat memberikan
pelayanan yang baik bagi warganya. Begitu
juga dengan pemenuhan kebutuhan
terhadap warganya telah banyak
yang di lakukan oleh pemerintah
daerah khususnya kota kendari, seperti penyedian terhadap sarana dan
prasarana perkotaan baik pembangunan
fisik berupa pembangunan sarana
prasarana perkotaan serta pembangunan fisik lainya.
Pembangunan non
fisik mencakup pembangunan
berkaitan dengan masalah sistem
kepranataan sosial, sistem kelembagaan
dan admistrasi, baik yang telah di lakukan maupun yang akan di lakukan, bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini menujukan semakin besar perannya pemerintah untuk memberikan pelayanan yang baik kepada
warganya (Wahgidin, 2002 :20).
Sebagai
perwujudan wawasan nusantara, pembangunan daerah adalah bagian dari pembangunan
nasional yang di arahkan untuk mengembangkan daerah dan menyerasikan laju pertumbuhan antar
daerah, antar sektor serta pembukaan dan percepatan pembangunan kawasan
tertinggal, daerah terpincil yang disesuaikan dengan prioritas dan potensi
daerah yang bersangkutan. Pembangunan
daerah bertujuan meningkatkan taraf hidup dan kesejatraan rakyat di
derah melalui pembangunan yang serasi dan terpadu baik antar sektor maupun
antara pembangunan sektoral. Dengan adanya perencanaan pembanguna oleh daerah
yang efisian dan efektif, maka akan menuju tercaapainya masyarakat mandiri dan
kemadirinan daerah itu sendiri yang merata seluruh tanah air (Kartasasmita,
1996 : 336).
Kebijakan
pemerintah pembangunan kota yaitu pengusiran atau penggusuran paksa
merupakan sebuah masalah yang telah lama berlangsung dan terus-menerus muncul
di sepanjang sejarah Indonesia ke arah
demokrasi tidak mampu mengakhiri masalah tersebut. Contoh kasus sepanjang tahun masa berdirinya
kota kendari sebagai ibu kota provinsi, puluhan ribu orang dipaksa melihat
pasukan keamanan membongkar rumah dan menghancurkan harta benda milik pribadi
mereka dengan hanya sedikit pemberitahuan sebelumnya dan tanpa prosedur yang
layak maupun kompensasi. Beberapa kasus penggusuran, banyak keluarga yang
kehilangan rumah, tetapi pada kasus lain, ribuan orang kehilangan investasi
yang telah mereka tanamkan selama bertahun-tahun atau bahkan beberapa puluh
tahun hanya dalam beberapa jam. Kasus-
kasus penggusuran tempat tinggal dan tempat usaha kaum miskin yang makin marak
terjadi belakangan ini di berbagai kota kendari merupakan fenomena sosial yang menimbulkan
konflik vertikal.
Seperti
penggusuran Pedagang Kaki Lima (PKL) dan pemukiman masyarakat miskin yang
terjadi di wilayah keluraan wua-wua kecamata kadia kendari dan juga kasus
penggusuran Pedagang Kaki Lima (PKL). Dalam
penggusuran tersebut melekat makna pemaksaan dan kekerasan oleh kolaborasi
penguasa yang secara politik maupun ekonomi kuat, dan tidak ada dialog serta
penyelesaian masalah secara damai, dalam
penggusuran, yang ada hanyalah raungan mesin kekuasaan dan jerit tangis si
tergusur.
Akibat
kebijakan pembangunan penggusuran lahan
yang dilegitimasi oleh penguasa berbagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan
negara sering kali dilakukan rakyat, baik bersifat secara individual maupun
kolektif, terselubung, sekadar aksi unjuk rasa hingga aksi pemberontakan,
Hampir semua aksi perlawanan rakyat yang berkaitan dengan persoalan agraria
tidak lepas dari corak pemerintahan yang tengah berkuasa. Artinya, berbagai bentuk aksi gerakan
perlawanan dan bahkan pembrontakan diakibatkan oleh kebijakan negara yang
seringkali menjadikan tanah sebagai bagian dari perpolitikan, alat kepentingan
penguasa.
Meskipun
secara normatif pembangunan daerah yang
cenderung ke arah industrialisasi menjadi tulang punggung perekonomian,
nyatanya ketidakpuasan menyangkut persoalan agraria tetap saja tidak
terhindarkan.
Bagian
yang paling penting dari suatu kebijakan berdasarkan paparan diatas adalah agar
dikatakan baik apabila dilandasi dan didasari oleh landasan konsep dan kerangka
yang logis yang mendasari pembuatannya. Kebijakan pembangunan kota kendari ini yang
merupakan kebijakan yang bersumber dari pemikiran Pemerintah Kota Kendari,
tidak memiliki landasan latar belakang konsep yang mendasarinya. Oleh karena
itu, peneliti akan mencoba untuk merekonstruksi mengenai latar belakang konsep
yang mendasari kebijakan pembangunan kota kendari melalui implementasi program
ini dilapangan, sehingga dapat diketahui apakah program ini memang sudah
memenuhi syarat kebijakan dikatakan baik dan logis dalam pembuatan dan
pelaksanaannya.
Oleh
karena itu, sehubungan dengan bentuk kebijakan pembangunan kota kendari adalah merupakan salah
satu kebijakan pemerintah yang bersifat otoritas dan belum memiliki kerangka
teori memadai yang mendasarinya, sedangkan landasan teori sangat dibutuhkan sebagai
landasan dalam membuat sebuah kebijakan yang ideal (Sabatier dan Mazmanian,1983). Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti
merasa perlu melakukan kajian terhadap kebijakan pembangunan kota kendari, dan
peneliti juga merasa perlu mengetahui bagaimana bentuk-bentuk perlawanan sosial
masyarakat marginal perkotaan teradap kebijakan pembangunan kota.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian
latar belakang tersebut di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam
penelitian ini yaitu
1. Bagaimana
bentuk-bentuk perlawanan sosial masyarakat marginal perkotaan kelurahan wua-wua
kecamatan kadia kendari atas kebijakan pembangunan kota?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian
latar belakang di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini yaitu :
1. Untuk
mengetahui bentuk-bentuk perlawanan sosial masyarakat marginal perkotaan
kelurahan wua-wua kecamatan kadia kendari atas kebijakan pembangunan kota.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam
penelitian ini adalah :
1. Sebagai
bahan acuan peneliti selanjutnya yang penelitiannya relevan dengan judul ini.
2. Sebagai
bahan masukan bagi pemerintah Sulawesi Tenggara, khususnya pemerintah Kecamatan
Kadia Keluraan Wua-wua atas penggusuran lahan masyarakat.
3. Sebagai
bahan informasi bagi aparat pemerintah dalam merancang kebijakan yang terkait
dengan kehidupan masyarakat perkotaan
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Gerakan Sosial
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gerakan sosial adalah tindakan atau agitasi
terencana yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat yang disertai
program. Secara teoritis Gerakan Sosial
merupakan sebuah gerakan yang lahir dari dan atas prakarsa masyarakat dalam
usaha menuntut perubahan dalam institusi, kebijakan atau struktur
pemerintah. Di sini terlihat tuntutan
perubahan itu biasanya karena kebijakan pemerintah tidak sesuai lagi dengan
konteks masyarakat yang ada atau kebijakan itu bertentangan dengan kehendak
sebagian rakyat. Karena gerakan sosial lahir dari masyarakat maka kekurangan
apapun ditubuh pemerintah menjadi sorotannya.
Dari literatur defenisi tentang gerakan sosial, adapula yang mengartikan
gerakan sosial sebagai sebuah gerakan yang anti pemerintah dan juga pro
pemerintah. Ini berarti tidak selalu gerakan sosial itu muncul dari masyarakat
tapi bisa juga hasil rekayasa para pejabat pemerintah atau penguasa.
(Situmorang 2007) Gerakan sosial lahir dari
situasi dalam masyarakat karena adanya ketidakadilan dan sikap sewenang-wenang
terhadap masyarakat. Dengan kata lain, gerakan sosial lahir dari raksi terhadap
sesuatu yang tidak diinginkan rakyatatau menginginkan perubahan kebijakan
karena dinilai tidak adil.
(Wayudin, 2005 : 198) Maka gerakan sosial dapat dikategorikan sebagai
sebuah manifestasi kepentingan orang-orang yang tidak mendapatkan jaminan dari
adanya kekuasaan secara struktural negara.
Sidney Tarrow
(1998) berpendapat tantangan kolektif yang di dasarkan atas tujuan dan solidaritas
bersama dalam interaksi berkelanjutan dengan kelompok elit ‘saingan atau musu
dan pemeggang otoritas. (the social
movent society.1998)
Anthony Giddens (2006). Menyatakan Gerakan Sosial sebagai upaya
kolektif untuk mengejar kepentingan bersama atau gerakan mencapai tujuan
bersama atau gerakan bersama melalui tindakan kolektif (action collective)
diluar ruang lingkup lembaga-lembaga yang mapan. Sedangkan Mansoer Fakih (2002) menyatakan
bahwa Gerakan Sosial dapat diartikan sebagai kelompok yang terorganisir secara
tidak ketat dalam rangka tujuan sosial terutama dalam usaha merubah struktur
maupun nilai sosial.
Robert Misel dalam bukunya yang berjudul Teori
Pergerakan Sosial mendefenisikan Gerakan Sosial sebagai seperangkat keyakinan
dan tindakan yang tak terlembaga yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk
memajukan atau menghalangi perubahan dalam masyarakat.
Gerakan sosial lahir pada mulanya
sebagai suatu kelompok orang yang tidak puas terhadap keadaan. Kelompok itu semula tidak terorganisasi dan
terarah, serta tidak memiliki rencana. Orang-orang saling membagi duka dan
mengeluh para cendikiawan menulis karangan para warga Negara menulis surat
pembaca editor, orang melakukan eksperimen menyangkut bentuk eksperimen
baru. Pemimpin dan organisasi pada
kebanyakan gerakan biasanya muncul tidak sama setelah situasi demikian
tercipta.
Setelah mengalami tahap aktif yang jarang melebihi masa satu
atau dua dasawarsa, gerakan itu lalu mengalami penurunan kegiatan. Kadangkala
gerakan itu sempat menciptakan organisasi permanen atau suatu perubahan (hak
pilih bagi kaum wanita),
dan sering kali gerakan itu hilang begitu saja tanpa bekas yang berarti (gerakan Esperanto yang menuntut adanya bahasa
universal)
Denny JA menyatakan adanya
tiga kondisi yang lahirnya gerakan sosial sebagai berikut :
1.
Gerakan
sosial lahir dengan kondisi yang memberikan kesempatan bagi gerakan
itu.pemerinta yang moderat, memberikan kesempatan yang lebih besar bagi
timbulnya gerakan sosial ketimbang pemerintah yang sangat otoriter
2.
Gerakan
sosial timbul karena meluasnya ketidak puasan atas situasi yang ada.
Perubahan dari masyarakat tradisional kemasyarakat modern, misanya akan
menimbulkan kesenjangan ekonomi yang semakin meluas antara si kaya dan simiskin
3.
Gerakan
sosial semata-mata masala kemampuan pemimpin dari tokoh pengerak. Sang pengerak akan menjadi inspirator membuat
jaringan, membangun organisasi yang menyebabkan sekelompok orang termotifasi
untuk terlibat dalam gerakan tersebut.
Dalam A Dictionary of Sociology,
gerakan sosial didefinisikan sebagai upaya terorganisir yang dilakukan oleh beberapa pihak
untuk merubah atau menolak perubahan yang
terjadi dalam salah satu sendi atau beberapa sendi kehidupan masyarakat. Istilah
tersebut untuk pertama kali digunakan oleh ( Claude Henri Saint Simon) untuk
mengidentifikasi gerakan protes masyarakat yang terjadi di Perancis pada abad
ke-18 Di era
kontemporer,
terminus gerakan sosial menunjuk pada suatu
kelompok atau organisasi yang berada di luar mainstreamsistem
pemerintahan yang berlaku.
Dengan demikian lebih tampak
sebagai suatu bentuk tindakan oposisi atas status quo. Dalam hal ini, disiplin
sosiologi melakukan kajian atasnya terkait strategi rekruitmen dinamika serta
dampak yang ditimbulkan dari suatu kelompok atau organisasi sosial terhadap
kehidupan masyarakatlebih pada kajian sosiologi organisasi. Karakter
dan penyebab lahirnya gerakan social setidaknya memiliki empat karakter utama,
yaitu:
1.
Tindakan kolektif
2.
Bertujuan
3.
Terorganisir
4.
Dan bersifat spontan.
Namun kiranya
perlu dicatat bahwa gerakan sosial berbeda dengan gerakan politik meskipun pada
ranah yang berlainan keduanya memiliki pertautan yang begitu erat dan tak
terpisahkan. Gerakan sosial umumnya lahir dan
diinisiasi oleh beberapa individu atau kolektif dalam masyarakat semisal kaum
intelektual,
cendekiawan,
kelompok atau organisasi yang memiliki kesadaran berikut perhatian khusus
terhadap masyarakat dan lingkungannya. Tegas dan jelasnya, berbagai pihak
pencetus gerakan sosial tersebut tak terintegrasi oleh mainstream sistem
politik yang berlakubukan pelaku pemerintahan. Namun, ada
kalanya pula ketika elit pemerintahan membelot dan menggandeng moasyarakat untuk
melakukan perubahan, dapat dikategorikan sebagai bentuk gerakan sosial
mengingat keterlibatan sipil di dalamnya.
Di satu sisi,
gerakan politik diinisiasi oleh mereka yang terintegrasi dengan sistem
pemerintahan yang berlaku sebagai misal termanifestasikan dalam bentuk manuver
politik, koalisi dan lain sebagainya. Begitu pula, sebentuk gerakan masyarakat
yang mengatasnamakan partai tertentu di jalanan tidaklah dapat disebut sebagai
gerakan sosial mengingat ter-integrasi-nya mereka dalam sistem politik secara
tak langsung berikut ditemuinya kontrol (arahan) partai secara terpusat.
Pada ranah yang berlainan, Mc Adam dan
Tarrow menguraikan penyebab mungkinnya suatu gerakan sosial muncul ke
permukaan. Menurut mereka, terdapat empat elemen (variabel) yang mempengaruhinya antara lain sebagai berikut:
1.
Lembaga politik yang mulai mengalami keterbukaan
2.
Tengah tercerai-berainya keseimbangan
politik, sedang keseimbangan baru belum terbentuk.
3.
Terjadinya konflik di antara para elit
politik.
4.
Para pelaku perubahan digandeng oleh
para elit pemerintahan untuk melakukan perubahan.
Kesadaran Sebab Utama
Lahirnya Gerakan Sosial
Kiranya, tak
ada yang lebih penting selain term (kesadaran) ketika kita
berbicara mengenai beragam bentuk emansipatoris individu maupun kolektif.
Marx menelurkan konsep true conciousness (kesadaran yang
benar) pada kaum
buruh guna mendobrak dan menghancurkan tatanan feodal-kapitalis demi
terwujudnya masyarakat egaliter, sama rasa, sama rata.
Sartre menggunakan istilah otentitas bagi individu
yang mampu melepaskan diri dari berbagai bentuk belenggu dan menemui dirinya
sebagai entitas yang faktual bebas (sebebas-bebasnya). Bordieu mencetuskan istilah doxa bagi setiap
individu maupun kolektif yang sukses melakukan hijrah dari penindasan
habitus lama guna beralih pada habitus baru yang emansipatoris.
Secara ringkas
dan sederhana, kesadaran dapat diartikan sebagai suatu bentuk pola pikir yang
menginsyafi bahwa segala sesuatu tidaklah tercipta secara sui generic (apa adanya) melainkan
melalui serangkaian proses berikut pentahapan yang mendahuluinya di mana setiap
kita memiliki kuasa guna mempengaruhi, merombak bahkan menghancurkannya.
Dalam tataran sosiologi kontemporer, konsep kesadaran dan
keterkaitannya dengan fenomena gerakan sosial menemui bentuknya pada ranah
pengkajian (sosiologi
imajinasi) C. Wright Mills
serta “sosiologi reflektif” Mahzab Frankfurt (Herbert Marcuse-Theodor
Adorno-Max Hokheimer).
2.1.1 Bentuk-bentuk Gerakan Sosial8
Disekitar
kita banyak terdapat macam-macam gerakan sosial seperti halnya gerakan buruh,
gerakan petani, gerakan mahasiswa, gerakan religius, gerakan sosial, gerakan
radikal, gerakan ideologi, dan kalau kita menganalisis secara terperinci maka
sangat banyak macam-macam gerakan sosial yang tumbuh di dalam tataran
masyarakat.
Karena
keragaman gerakan sosial sangat besar maka berbagai ahli sosiologi mencoba
menklarifikalsikan dengan menggunakan kriteria tertentu. Membentuk Gerakan
Sosial menjadi enam bentuk yaitu
1. Gerakan
Perpindahan
Orang yang
kecewa bisa saja menginginkan perpindahan. Manakala banyak yang melakukan
perpindahan ke suatu tempat pada waktu yang bersamaan, maka hal tersebut
disebut gerakan perpindahan social. Beberapa contoh gerakan seperti itu ialah
migrasi orang-orang Irlandia ke Amerika Serikat setelah terjadi kegagalan panen
kentang, kembalinya orang-orang yahudi ke Israel, yang dikenal sebagai istilah
zionisme, perlarian dari orang-orang Jerman Barat sebelum mereka terkungkung
oleh Tembok berlin, dan lain-lain.
2. Gerakan
Ekspresif
Bilamana
orang tidak mampu pindah secara mudah dan mengubah keadaan secara mudah pula,
maka mereka mungkin saja akan mengubah sikap mereka. Melalui gerakan ekspresif
orang mengubah reaksi mereka terhadap kenyataan, bukannya berupaya mengubah
kenyataannya itu sendiri. Terdapat
banyak ragam gerakan ekspresif, mulai dari music, dan busana sampai dengan
bentuk yang serius (berbagai
gerakan keagamaan, dan aliran kepercayaan). Gerakan ekspresif
dapat membantu orang untuk menerima kenyataan yang biasa muncul dikalangan
orang tertindas. Meskipun demikian, cara seperti itu berkemungkinan untuk
menimbulkan perubahan tertentu.
3. Gerakan
Utopia
Gerakan
seperti ini merupakan upaya untuk menciptakan suatu masyarakat sejahtera dalam
sekala kecil. Model tersebut dapat dicontoh dan mungkin dapat diterapkan pada
masyarakat luas. Di Amerika Serikat
pernah terdapat puluhan komunitas utopia. Tidak banyak dari sekian komunitas
itu mampu bertahan sampai beberapa tahun.Barangkali gerakan utopia yang paling
berhasil belakangan ini adalah gerakan kibut Israel.
4. Gerakan
Reformasi
Gerakan
ini merupakan upaya untuk memajukan masyarakat tanpa banyak mengubah struktur
dasarnya. Gerakan semacam ini biasanya muncul di Negara-negara demokratis,
sebaliknya jarang terjadi di Negara-negara yang tidak membenarkan perbedaan
pendapat. Dalam sejarah Amerika Serikat
tercatat puluhan gerakan reformasi, misalnya gerakan abolisi (penghapusan), misalnya gerakan pelarangan
minuman keras, gerakan kaum wanita, gerakan penciptaan lingkungan, gerakan kaum
wadam, dan masih banyak lagi. Ratusan
benih gerakan reformasi lainnya tidak sempat tumbuh sebagai gerakan reformasi
yang sebenarnya.
5. Gerakan
Revolusioner
Revolusi
social merupakan gerakan perubahan system social yang berlangsung secara
besar-besaran dan tiba-tiba, serta biasanyamenggunakan kekerasan. Pembentrokan istana yang tandai oleh
perubahan penguasa tanpa adanya perubahan sistem kelas social atau distribusi
kekuasaan dan pendapatan dikalangan kelompok masyarakat, tidak termasuk dalam
klasifikasi revolusi social. Para orang
revolusioner pada umumnya menentang pengikut gerakan reformasi, karena
orang-orang revolusioner berkeyakinan bahwa reformasi yang berarti tidak
mungkin tercipta bila mana sistem social yang ada tetap berlaku.
Proses
terciptanya revolusi dapat dilihat pada revolusi Iran yang terjadi pada masa
itu.
a.
Menyebarluasnya perasaan ketidakpuasan dan
menurunnya dukungan terhadap rezim yang
berkuasa (orang-orang
Iran di dalam dan di luar negeri melakukan demontrasi yang menentang Shah Iran).
b.
Meningkatnya
kekacauan, kerusuhan, dan pemboman, yang disertai dengan ketidak mampuan
pemerintah menciptakan ketenangan, kecuali dengan menggunakan penekanan keras.
c.
Digulingkannya
pemerintah (Shah
Iran melarikan diri) bersamaan dengan menyatunya angkatan bersenjata
ke dalam gerakan revolusi.
Revolusi sosial merupakan satu
transformasi menyeluruh tatanan sosial, termasuk didalamnya institusi
pemerintah dan sistem strafikasi.Revolusi di Rusia pada tahun 1917 dan revolusi
di Tiongkok pada tahun 1949 dapat dimasukan dalam kategori ini, karena di kedua
masyarakat tersebut sistem budaya, sosial, politik dan ekonomi lama dirombak
menyeluruh diganti sistem komunis. Apa yang membedakan revolusi dengan gerakan
sosial lain. Menurut Giddens suatu revolusi harus memenuhi tiga kriteria antara
lain sebagai berikut:
a.
Melibatkan gerakan sosial missal
b.
Menghasilkan proses reformasi dan perubahan
c.
Melibatkan ancaman atau penggunaan kekerasan
Dengan demikian menurut Giddens, revolusi perlu dibedakan dengan kudeta
dan pembrontakan, karena menurutnya kudeta hanya melibatkan penggantian
pemimpin dan tidak mengubah institusi politik sedangkan pembrontakan tidak
membawa perubahan nyata meskipun melibatkan ancaman atau penggunaan kekerasan.
Jika gerakan hanya bertujuan
untuk mengubah senagian institusi dan nilai, maka nama yang diberikan Kornblum
ialah gerakan reformis (reformist movement).
Atas dasar kriteria ini gerakan Boedi Oetomo yang didirikan pada tahun
1908 di Jakarta merupaskan gerakan reformis, karena tujuan utama mereka adalah
memberikan pendidikan Barat formal kiepada putra-putri pribumi.
Gerakan yang berupa mempertahankan nilai dan institusi masyarakat disebut
Kornblum gerakan konsevatif (conservative movement). Di Amerika Serikat,
misalnya usaha kaum feminis ditahun 1980-anj untuk melakukan perubahan pada
konstitusi demi menjamin persamaan hak lebih besar antara laki-laki dan
perempuan (ERA atau Equal Rights Amandment) ditentang dan akhirnya digagalkan
oleh gerakan konsevatif perempuan STOP-ERA “suatu gerakan anti feminis yang
melihat sebagai ancaman terhadap peranan perempuan dalam keluarga sebagai istri
dan ibu.
Suatu gerakan yang disebut reaksioner (reactionary movement) manakala
tujuannya ialah untuk kembali ke institusi dan nilai di masa lampau dan
meninggalkan institusi dan nilai masa kini. Contoh yang di berikan Kornblum ialah gerakan
Ku Klux Klan di Amerika Serikat. Organisasi
rahasia ini berusaha mengembalikan keadaan di Amerika Serikat ke masa lampau di
kala instituisi sosial mendukung asas keunggulan orang kulit putih di atas
orang kulit hitam (White Supermacy).
6.
Gerakan Perlawanan (Resistance Movement)
Gerakan dan Ku Klux Klan lahir dibagian selatan
sesuai perang saudara dan berjuang agar peran orang-orang kulit hitam tetap
tidak merubah. Gerakan seperti itu
muncul kembali dalam berbagai kurun waktu dipelbagai tempat, dan berperan
sebagai gerakan pribumi yang berupaya untuk melindungi orang-orang amerika yang
sebenarnya dalam menghadapi orang-orang kulit hitam, Katolik, asing, atheis,
dan orang-orang liberal.
Banyak sekali gerakan perlawanan
dewasa ini menyatakan kekecewaan mereka terhadap arah perkembangan bangsa Amerika.Beberapa
di antaranya adalah perkembangan bangsa Amerika.Beberapa diantaranya adalah
gerakan pendukung-kehidupan yang ingin meniadakan pengesahan aborsi, gerakan
anti pornografi, gerakan yang berupaya mengesahkan jam ibadah di sekolah, dan
gerakan lainnya.
2.1.2
Gerakan Sosial dalam Perspektif
Sosiologi
Pada gerakan social dalam
perspektif teori sosiologi terdapat empat macam, yaitu:
a.
Marxisme (Teori Marx). Menegaskan bahwa dimasyakat industri gerakan
social dan revolusi berasal dari kontradiksi structural utama antara kapital
dan buruh. Merka adalah aktor-aktor utama dalam konflik sosial ini.
Ketidakpuasan yang oleh kaum buruh inilah yang akhirnya memunculkan gerakan
sosial yang bertujuan memperjangkan nasib mereka.
b.
Interaksionisme (Teori Simmel 1908).
Memahami konflik sebagai sebuah proses interaksi. Pada tahun 1920an, Mashab Chicago melalui
teori interaksionalisme simbolik juga mengadopsi pemikiran Simmel ini untuk mempelajari
tentang perilaku kolektif dan gerakan social. Berdasarkan asumsi bahwa individu
dan kelompok orang bertindak berdasarkan espektasi bersama dan bahwa gerakan
social muncul dari suatu situasi yang tak terstruktur atau chaos. Suatu situasi dimana hanya ada sedikit
pedoman cultural bersama atau pedoman itu berantakan dan harus didefinisikan
kembali. Menurut teori ini, gerakan
social adalah ekspresi kolektif dari rekonstruksi situasi social tersebut. Jadi
gerakan social adalah “usaha kolektif untuk menciptakan tatanan kehidpan yang
baru (Blummer, 1939).
c.
Fungsionalisme struktural
Fungsionalisme structural ada tiga
varian dalam model gerakan sosial menurut teori fungsionalis struktural
1. Teori masyarakat massa. Teori ini mempostulatkan individu sebagai
yang teratomisasi (Kornhauser, 1959), Karena tercabut dari akarnya akibat
perubahan social yang cepat, urbanisasi dan hilangnya ikatan tradisional,
terisolasi dari relasi kelompok dan kelompok normative, maka individu didalam
masyarakat massa bebas dan cenderung berpartisipasi dalam jenis kelompok baru
seperti gerakan social.
2. Teori
tekanan sturktural. Teori ini memandang
bahwa penyebab utama kemunculan gerakan social adalah terganggunya keseimbangan
dari system social (Smelser, 1962). Nonkorespondensi
antara nilai-nilai yang dianut dengan praktek masyarakat actual, tertutupnya
fungsi institusional, elemen disfungsional yang mengganggu kelangsungan system,
semuanya merupakan hal-hal yang dapat mengganggu keseimbangan system social,
memicu ketegangan structural dan kemudian memacu gerakan sosial.
3. Teori
deprivasi relative. Teori ini merupakan
salah satu turunan psikologi sosial dari teori tekanan. Tekanan ini bukan diakibatkan oleh
diskrepansi structural tetapi berasal dari perasaan subyektif yaitu ketika
orang merasa gagal menggapai harapannya.
Kebutuhan yang terpenuhi tidak sesuai dengan yang diharapkan. Perbaikan kondisi ekonomi dan politik yang
membesarkan harapan dalam kelompok, akan mudah memunculkan gerakan social
apabila realitas tampak tidak sesuai dengan harapan. Ketidakpuasan dan frustrasi
akan bermunculan. Inilah yang
menyebabkan gerakan social.
4. Neo-utilitarian. Asumsi
dasar teori ini adalah bahwa gerakan social berkembang dari aktivitas
organisasional apabila mereka berhasil memobilisasi sumber daya material dan
simbolis seperti uang, waktu dan legitimasi.
Gerakan social dijelaskan dalam term kesempatan, strategi, mode
komunikasi dan kompetisi dengan kelompok dan otoritas yang memiliki kepentingan
yang saling bertentangan
2.2 Konsep
masyarakat marginal perkotaan
2.2.1
Pengertian masyarakat marginal perkotaan
Marginal berasal dari bahasa inggris ‘marginal’ yang berarti jumlah
atau efek yang sangat kecil. Artinya marginal adalah suatu kelompok yang
jumlanya sangat kecil atau bisa juga di artikan sebagai kelompok prasejatera. Marginal juga identik dengan masyarakat kecil
atau kaum terpinggirkan. Jadi kaum marginal
adalah masyarakat kelas bawah yang terpinggirkan dari kehidupan masyarakat.
Secara umum mereka yang tergolong masyarakat terpinggirkan adalah
orang miskin, gelandangan, pemulung, kaum buruh dengan gaji rendah, anak
jalanan para penyandang cacat, terjangkit penyakit HIV dan AIDS, masyarakat
tradisional korban perdaganggan manusia, korban kekerasan domestik, remaja yang
mengalami koflik dengan hukum, buruh tani, pekerja seks dan lainya, Mereka
terpinggirkan karena tekanan ekonomi, sosial, budaya, dan politik, termasuk
kebijakan dan program pemerintah yang tidak berpihak.
Marginalisasi adalah fenomena pedesaan yang menimbulkan kemelaratan
dan ciri kebudayaan pribumi tertentu yang biasanya tertahan yang menunjukan
fenomena integrasi dalam masyararakat artinya peminggiran oleh sekelompok orang
( Pablo Gonzales Casanova 1995, fenomena pedesaan, Intan Pariwara ).
Marginalisasi adalah suatu keterpaksaan seseorang
dalam menghadapi kenyataan kehidupan sehari-hari yang mungkin sesekali terkait
secara mendalam dengan pergaulan dalam menjalankan proses aktivitas
administrasi secara menyeluruh ( Dr. H. Makmur, M.si. 2002, patologi serta
kerapianya dalam ilmu admitrasi & organisasi, LEUKA ADITAMA ).
Marginalisasi merupakan sebuah proses sosial yang membuat masyarakat menjadi
marginal, baik terjadi secara alamia maupun dikreasikan sehingga masyarakat
memiliki kedudukan sosial yang terpinggirkan.
( Mullaly, ikhsankurnia 2001, teori marginalisasi masyarakat ).
Beberapa kriteria atau indikator marsyarakat
marginal sebagai berikut :
1. Secara sosiologis. Yang termasuk kelompok marginal adalah buruh
anak, seorang / kelompok / masyarakat
yang mendapatkan perlakuan tidak adil atau diskriminatif karena persoalan
gender, seseorang atau sekelompok masyarakat yang mengalami peminggiran sosial,
dan masyarakat atau kelompok masyarakat yang hak asasinya terlanggar. Dengan demikian, individu atau kelompok
masyarakat yang mendapat ketidak adilan/ peminggiran karena persoalan-persoalan
marginal termasuk buruh anak ketidak setaraan gender, ekslusi sosial, dan
kekerasaan hak asasi.
2. Secara infastruktur. Individu atau kelompok masyarakat dari kultur
maupun ia perasal, ketika keberadaan mereka dalam kehidupan secara geografis
mengalami kesulitan pada akses untuk mendapatkan air bersi, jarak transportasi
yang tak terjangkau, atau pun akses pada
Bank dan komunikasi yang sulit maka kelompok masyarakat ini bisa di
katakana marginal. Kebanyakan kelompok masyarakat terisolir dengan masyarakat
seperti akses pada air bersi, jarak terhadap fasilitas transportasi, Bank,
komunikasi dan suplay energy lainya.
3. Secara kesehatan.
Kelompok masyarakat yang harapan hidupnya renda, tingkat kematian
bayinya tinggi, masyarakat yang mengalami gizi buruk dan kekurangan gizi,
seperti tingkat harapan hidup, kematian bayi, kekurangan gizi dan giji buruk
pada masyarakat umum
4. Secara pendidikan. Sekelompok masyarakat yang di dalamnya tingka
buta huruf tinggi banyak yang tidak sekolah, seperti tingkat buta huruf rasio
bruto pendaftaran sekolah dan lain-lain.
5. Secara politik.
Individu atau kelompok masyarakat yang terhambat atau tidak di beri
ruang untuk ikut berpartipasi dalam pemilu.
Begitu pun kelompok masyarakat yang tidak mendapatkan kenyamanan dan
selalu terancam baik dalam masalah keamanan maupun dari kekerasan. Ini tertentu pemenuhan dan penangananya pun
berbeda. Seperti partisipasi dalam pemilu, indeks korupsi, status keamanan,
criminal atau kekerasan.
6. Secara ekonomi.
Sekelompok masyarakat maupun individu yang pendapatan perkapitanya
rendah sehingga iya termasuk kategori miskin, batas bawah pendapatan perkapita
dalam hal ini berbeda-beda antara yang biasanya di tetapkan pemerintah maupun
lembaga-lembaga international. Begitu pun kelompok masyarakat yang menganggur
dan tidak memiliki pekerjaan, seperti pendapatan domestik perkapita rendah,
tingkat pengangguran tinggi dan lain-lain.
7. Secara ekologis.
Kelompok masyarakat yang sumber daya alamnya rusak, terksploitasi
sehingga mereka tidak dapat memanfatkanya lagi untuk kehidupan, seperti polusi
lingkungan, kondisi sumberdaya alam yang hancur sehingga tidak bisa berlanjut.
8.
Secara
indeks pembangunan. Sekelompok masyarakat yang indeks pembangunanya rendah,
yang meliputi pertumbuhan ekonominya rendah pemerentaan ekonomi juga timpang
dan tidak merata, harapan hidup rendah, tingkat melekat.
2.2.2
Jenis
Kelompok Marginal Perkotaan
Beberapa
jenis kelompok marginal sebagai berikut :
a. Pedagang asongan adalah pedangang yang menjajakan
sesuatu berupa barang di dalam kendaraan umum diperempatan jalan.
b.
Pengemudi
becak adalah seseorang yang mencari nafkah dengan mengemudikan becak. Pekerjaan sebagai pengemudi becak sangat
berat secara fisik, sebab ia menggunakan tenaga .manusia secara sosial,
pengemudi becak menyandang status rendah, bahkan dikalangan kelompok marjinal
c. Keluarga miskin adalah suatu kondisi dimana fisik
masyarakat yang tidak memiliki akses ke prasarana dan sarana dasar lingkungan
yang menandai. Dengan kualitas perumahan
dan pemukiman yang jauh dibawah standar kelayakan serta mata pencaharian yang
tidak menentu yang mencakup seluruh multidimensi, yaitu dimensi politik,
dimensi sosial, dimensi lingkungan, dimensi ekonomi, dan dimensi asset.
d. Pemulung adalah orang yang memungut barang-barang
bekas atau sampah tertentu untuk proses daur ulang. Pekerjaan memulung sering di anggap memiliki
konotasinegatif. Ada dua jenis pemulung
: pemulung lepas, yang bekerja sebagai swausaha,dan pemulung yang tergantung pada
seorang Bandar yang meminjamkan uang ke
mereka dan memotong uang pinjaman tersebut saat membeli barang dari pemulung- pemulung
berbandar hanya boleh menjual barang ke bandar.
Tidak jarang bandar member
pemondokan kepada pemulung, biasanya di atas tanah yang didiami bandar, atau
dimana terletak tempat penampungan barangnya.
Pemulung merupakan mata rantai pertama dari industri daur ulang
e. Buruh yaitu pekerja tenaga kerja atau kariyawan
pada dasarnya adalah manusia yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk
mendapatkan balasan berupa pendapatan baik berupa uang maupun bentuk lainnya
kepada bemberi kerja atau pengusaha baru atau majikan lagi
f. Petani miskin adalah seseorang yang bergerak
dibidang pertanian. Utamanya dengan cara
melakukan pengelolaan tanah dengan tujuan untuk menumbuhkan dan memelihara
tanaman (seperti padi, bunga, buah dan lain-lain) dengan harapan untuk
memperoleh hasil dengan tanaman tersebut untuk digunakan sendiri ataupun
menjualnya kepada orang lain.mereka juga dapat menyediakan bahan mentah bagi
industry, serealia untuk minuman beralkohol, buah untuk jus, dan wol atau kapas
untuk penenunan dan pembuatan pakaian
g. Anak jalanan adalah seseorang yang masih belum
dewasa (secara fisik dan phsykis). Gelandangan/atau
pengemis adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma
kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak menpunyai tempat
tinggal dan pekerjaan yang tetap diwilayah tertentu menyembara ditempat umum yang
menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan untuk
mendapatkan uang guna mempertahankan hidupnya yang terkadang mendapat tekanan
fisik atau mental dari lingkunganya.
2.3 Konsep
Masyarakat Perkotaan
2.3.1 Pengertian
Masyarakat perkotaan
Masyarakat perkotaan adalah masyarakat urban dari
berbagai asal atau desa yang bersifat heterogen dan majemuk karena terdiri dari
berbagai jenis pekerjaan/keahlian dan datang dari berbagai ras, etnis, dan
agama. Mereka datang kekota dengan
berbagai kepentingan dan melihat kota yang dimiliki stimulus (rangsangan)
untuk mewujutkan keinginan. Maka tiaklah
aneh apabila kehidupan dikota diwarnai oleh sikap yang individualistis karena
meraka memiliki kepentingan yang beragam.
Max Weber berpendapat bahwa suatu tempat adalah
kota apabila penghuni setempatnya dapat memenuhi kebutuhan sebagian besar
kebutuhan ekonominya di pasar lokal.
Barang-barang itu harus dihasilkan oleh penduduk dari pedalaman dan
di jualbelikan di pasar itu. Jadi menurut Max Weber cirri kota adalah
adanya pasar, dan sebagai benteng, serta mempunyai sistem hukum dan lain-lain
tersendiri, dan bersifat kosmopolitan.
Wirth, mendefinisikan kota sebagai pemukiman yang
relatif besar, padat dan permanen, dihuni oleh orang-orang yang heterogen
kedudukan sosialnya. Akibatnya hubungan
sosialnya menjadi longgar acuh dan tidak
pribadi (impersonal relation).
Karl Marx dan F. Engels memandang kota sebagai
persekutuan yang di bentuk guna melindungi hak milik dan guna memperbanyak
alat-alat produksi dan alat-alat yang diperlukan agar anggota masing-masing
dapat mempertahankan diri.
Harris dan Ullman berpendapat bahwa kota
merupakan pusat pemukiman dan pemnfaatan bumi oleh manusia. Kota-kota sekaligus
merupakan paradoks. Pertumbuhannya yang
cepat dan luasnya kota-kota menunjukan keunggulan dalam mengeksploitasi bumi,
tetapi di pihak lain juga berakibat munculnya lingkungan yang miskin bagi
manusia. Yang perlu dirhatikan Menurut Harris Ullaman adalah bagaimana
membangun kota di masa depan agar keuntungan dari kosentrasi pemukiman tidak
mendatangkan kerugian atau paling tidak kerugian dapat di perkecil.
Menurut ahli Geografi Indonesia yakni Prof. Bintarto, (1984: 36)
sebagai berikut: kota dapat di artikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan
manusia di tandai oleh dengan strata sosial ekonomi yang heterogen dan
coraknya yang meterialistik, atau dapat pula di artikan
sebagai benteng budaya yang di timbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami
dengan gejala-gejala pemutusan penduduk yang cukup besar dengan corak kehidupan
yang bersifat heterogen dan materialistis di bandingkan dengan daerah di
belakangnya.
2.3.2 Ciri-Ciri
Tipe Masyarakat Perkotaan
Ada beberapa ciri yang menonjol pada masyarakat perkotaan sebagai
berikut :
a.
Kehidupan keagaanya berkurang, kadangkala
tidak terlalu di pikirkan karena memeng kehidupan cenderung kearah kedunia
saja.
b. Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya
tanpa harus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain
(individualisme)
c. Pembagian kerja di antara warga-warga kota juga
lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata.
d. Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan
pekerjaan juga lebih banyak di peroleh warga kota
e. Jalan kehidupan yang cepat di kota-kota,
mengkibatkan pentingnya faktor waktu bagi warga kota, sehingga warga kota,
sehingga pembagian waktu yang teliti sangat penting, untuk dapat mengejar kebutuhan-kebutuhan
seorang individu.
f. Perubahan-perubahan tanpak nyata di kota sebab
kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh-pengaruh dari luar.
Teori talcott parsons mengenai tipe masyarakat kota di antaranya
mempunyai cirri-ciri sebagai berikut :
a. Netral efektif. Masyarakat kota memperlihatkan sifat yang
lebih mementikan rasiopnalitas dan sifat rasional ini erat hubungan dengan
konsep gesellschaft atau association.
Mereka tidak mau mencapuradukan hal-hal yang sifatnya emosional atau
menyangkut perasaan pada umumnya dengan hal-hal yang sifatnya rasional, itulah
sebab masyarakat itu disebut netral dalam perasaan.
b. Orientasi diri. Manusia dengan kekutanya sendiri
harus dapat mempertahankan dirinya sendiri pada umumnya dikota tetangga itu
bukan orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan kita oleh karena itu
setiap orang dikota terbiasa hidup tanpa menggatungkan diri pada orang lain,
mereka cenderung untuk individualistik
c. Universalisme.
Berhubungan dengan semua hal yang berlaku umumnya, oleh karena itu
pemikiran rasional merupakan dasar yang sangat penting untuk universalisme
d. Prestasi. Mutu
atau prestasi seorang akan dapat menyebabkan orang itu di terima berdasarkan
kepadaian atau keahlian yang di milikinya.
e. Heterogenitas.
Masyarakat kota lebih memperlihatkan sifat heterogen artinya terdiri
dari lebih banayak komponen dalam susunan penduduknya.
Kita
dapat membedakan antara masyarakat desa dengan masyarakat desa dengan
masyarakat kota yang masing-masing punya karakteristik tersendiri, dengan
fungsi-fungsi sosial struktur serta proses-proses sosial yang sangat
berbeda-beda bahkan di katan berlawanan pula.
Perbedaan ciri antara kedua dapat di ungkapkan secara singkat menurut
poplin (1972 ) sebagai beikut :
Masyarakat desa
|
Masyarakat kota
|
Prilaku homogeny
|
Prilaku
heterogen
|
Prilaku
yang di landasi oleh konsep kekeluargaan dan kebersamaan
|
Prilaku yang
di landasi konsep pengdalan diri dan kelebagaan
|
Prilaku
yang berorientasi pada tradisi dan status
|
Prilaku
yang berorientasi pada rasionalitas pada fungi
|
Isolasi
sosial sehingga statik kesatuan dan ketuhanan cultural banyak ritual dan
nilai-nilai sacral
|
Mobilitas
sosial sehingga dinamik kebauran dan dan nilai-nilai sekuler
|
Kolektivitas
|
Individualisme
|
2.3.3 Bentuk Bentuk Aspek Kehidupan Masyarakat
Perkotaan
Secara sosiologis penekananya pada kesatuan
masyarakat industri, bisnis, dan wirausaha lainya dalam struktur yang lebih
kopleks. Secara fisik kota di namampakan
dengan adanya gedung-gedung yang menjulang tinggi, hiruk pikuknya kendaraan,
pabrik, kemacetan, kesibukan warga
masyarakat, persaingan yang tinggi, polusinya, dan sebagainya. Secara sosial kehidupan cenderung heterogen,
individual, persaingan yang tinggi yang sering kali menibulkan pertentangan
atau koflik. Muncul sebuah asumsi yang
menyatakan bawah masyarakat kota itu pintar, tidak mudah tertipu, kecakapan
dalam berpikir, dan bertindak, dan muda menerima perubahan itu tidak selamanya benar,
karena secara implicit di balik semua itu masi ada masyarakatnya yang hidup di
bawah standar kehidupan sosial.
Untuk
memahami secara rinci mengenai bentuk kehidupan masyarakat perkotaan adalah sebagai
berikut :
1. Lingkungan umum dan orientasinya terhadap alam. Bagi
masyarakat kota cenderung mengebaikan kepercayaan yang berkaitan dengan
kekuatan alam serta pola kehidupan yang mendasarkan pada rasionalnya. Dan di lihat dari mata pencaharianya
masyarakat kota tidak tergantung pada kekuatan alam, melaikan bergantung pada
tingkat kemampuan untuk bersaing dalam dunia usaha. Gejala alam itu bisa di pahami secara ilmiah
dan secara rasional dapat di kendalikan.
2. Pekerjaan atau mata pencaharian. Kebanyak masyarakat bergatung pada pola
industri (kapitalis). Bentuk pencaharian yang primer seperti sebagai pengusaha,
pedagang dan buruh industri. Namun ada
sekelompok masyrakat yang bekerja pada sektor informal misalya pemulung,
pengemis dan pengamen. Selain yang di
sebutkan di atas termasuk bentuk mata pencaharian sekunder.
3. Ukuran komunitas.
Umumnya masyarakat perkotaan lebih heterogen di bandingkan masyarakat
pedesaan. Karena mayoritas masyarakat
berasal dari sosio kultrasi yang berbeda-beda, dan masing-masing dari mereka
tujuan yang bermacam-macam pula dan antaranya ada yang menempuh pendidikan. Jumlah penduduknya masi relatif besar.
4. Kepadatan penduduk. Tingkat kepadatan di kota lebih tinggi bila
di bandingkan di desa, hal ini di sebabkan oleh kebanyakan penduduk di daerah
perkotaan wilayanya dari berbagai daerah
5. Homogenitas dan heterogenitas. Dalam struktur masyarakat perkotaan yang
sering kali nampak adalah heterogenitas dalam cirri-ciri sosial, piskologis,
agama, dan kepercayaan,adat istiadat dan prilakunya. Dengan demikian struktur masyrakat perkotaan
sering mengalami interaksi sosial, mobilitas sosial, dan dinamika sosial.
6. Diferensiasi sosial. Di daerah perkotaan, diferensiasi sosial
relatif tinggi, sebab tingkat perbedaan agama, adat istiadat, bahasa, sebab
tingkat perbedaan agama dan sosiokultural yang di bawah oleh pendatang dari
berbagai daerah cukup tinggi.
7. Pelapisan sosial.
Lapisan sosial lebih di dominasi oleh perbedaan status dan peran dalam
struktur masyrakat. Di dalam struktur masyarakat modern lebih menghargai
prestasi dari pada keturunan.
8. Mobilitas sosial.
Mobilitas pada masyarakat perkotaan lebih dinamis dari pada masyarakat
pedesaan. Kenyataan itu adalah sebuah
kewajaran sebab perputaran uang lebih banyak terjadi di daerah perkotaan dari
pada pedesaan.
9. Interaksi sosial.
Dalam interaksi sosial pada masyarakat perkotaan lebih kita kenal dengan
yang namanya gessesichaft yaitu kelompok patembayan. Yang mana ada hubungan timbal balik dalam
bentuk perjanjian-perjanjian tertentu yang orintasinya adalah keutungan atau
pamrih. Sehingga hubungan yang terjadi
hanya seperlunya saja.
10. Pengawasan sosial. Dikarenakan masyarakat yang kurang saling
mengenal satu sama lain dan juga luasnya wilayah kultural perkotaan di tambah
lagi keheterigenitasan masyaratnya yang membuat sistem pengawasan sosial
prilaku antara anggota masyarakatnya makin sulit terkotrol
11. pola kepemipinan.
Kepemimpinanya didasarkan pada pertanggung jawaban secara rasional atas
dasar moral dan hukum. Dengan demikian
hubungan antara pemimpin dan warga masyarakatnya berorientasi pada hubungan
formalitas.
12. Standar kehidupan. Standar kehidupan di ukur dari barang-barang
yang di anggap punya nilai (harta benda).
Mereka lebih mengenal deposito atau tabungan. Karena menurut mereka menyimpan uang dalam
bentuk deposito di anggap lebih pratis dan mudah. Ditambah lagi kepemilikan barang-barang mewah
lainya.
13. Kesetiakawanan sosial. Ikatan solidaritas sosial dan kesetia kawanan
lebih renggang. Artinya hubungan untung
rugi lebih dominan dari pada kepentingan solidaritas dan kesetiakawanan.
14. Nilai dan sistem nilai. Nilai dan sistem nilai di
dalam struktur masyarakat perkotaan lebih bersifat formal di dasarkan
aturan-aturan yang resmi seperti hukum dan perudang-undangan.
2.4 KONSEP
KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN
2.4.1 Model Kebijakan Pembangunan Kota
Model penentuan kebijakan pembangunan kota melalui
mekanisme rembug kebijakan atau Musrenbang sebenarnya sudah baik, akan tetapi
dalam implementasinya dinilai masih kurang sesuai harapan masyarakat. Karena itu model yang perlu dirumuskan dalam
menentukan kebijakan pembangunan kota berdasarkan strategi yang melibatkan
masyarakat secara aktif sebagai stakeholders tetapi pemerintah juga
harus menyerap partisipasi dengan mempertimbangkan dasar skala prioritas
pembangunan yang akan dilakukan dan ketersediaan dana yang tersedia. Selama ini dalam merumuskana kebijakan
pembangunan kota aspirasi masyarakat sudah mulai diperhatikan pemerintah dan
DPRD tetapi sifatnya masih terbatas. Menurut Esmi Warassih, untuk mewujudkan
tujuan kebijakan pembangunan sebagaimana yang diharapkan masyarakat, maka sejak
awal pembentukan kebijakan perlu dipikirkan model perencanaan yang dipilih
secara cermat.
Model perencanaan yang melihat fungsi perencanaan
sebagai mekanimes untuk mengubah suatu keadaan dikenal mechanistic action
model atau social engineer- ing model
(Poerbo,
1995). Model ini menekankan peranan perencanaan
sebagai usaha untuk mensistimasi aspirasi masyarakat dan menyususn dalam
dokumen tertulis. Model ini melihat
masyarakat sebagai sesuatu yang turbulent atau penuh dengan nilai
sosial-budaya dan dinamis. Masyarakat
bukan sub sistem yang tersubordinansi, melainkan merupakan subsistem yang
mandiri. Model ini sangat penting dan
berarti karena nilai-nilai dan norma masyarakat lokal terlibat dalam proses
pembangunan kebijakan yang menentukan tindakan-tindakan selanjutnya dalam
pencapaian tujuan kebijakan. Pendekatan
partisipasi dapat memberikan tempat kepada masyarakat untuk melakukan negosiasi
dengan pemegang kekuasaan dan gagasan mereka merupakan bahan dalam pembentukan
kebijakan hingga tingkat implementasinya.
Menurut Guritno Soerjodibroto,
dalam
merumuskan kebijakan pembangunan kota terdapat model yang dikenal City
Development Strategy (CDS), di dalammnya terdapat mekanisme pengambilan
kebijakan yang bercirikan,
1. Adanya
pelibatan secara aktif dan efektif stakehorlders, kota yang difasilitasi
oleh Tim Kerja Stakeholders (TKS).
2. Eksploitasi
secara optimal melalui berbagai media dalam upaya untuk desiminasi informasi
dan lebih mengenalkan ke masyarakat terkait dengan program CDS dan
hasil-hasilnya.
Pemberdayaan stakeholders melalui peningkatan
kapasitas dan pengadaan mekanisme pengambilan keputusan yang sepenuhnya
ditentukan oleh mereka sendiri. Kegiatan pelaksanaan CDS meliputi,
1.
Rumusan profil kota
sebagai referensi untuk mengangkat dan menetapkan isu-isu kota yang dianggap
prioritas, yang kemudian disepakati bersama dalam sutu mekanisme konsultasi
publik.
2.
Rumusan visi yang
berupa visi pembangunan kota ataupun visi penanganan isu-isu penting yang
diprioritaskan.
3.
Rumusan misi, sebagai upaya untuk
mendistribusikan beban tugas ke pihak-pihak yang berkompeten.
4.
Rumusan strategi, yang
disusun berdasarkan telaah SWOT yang dilaksanakan sesuai dengan kapasitas dan
kesepakatan bersama.
5.
Rumusan program disusun melalui upaya
elaborasi dan perumusan strategi dengan menemukenali unsur-unsur pokoknya.
Menurut
Esmi Warassih, untuk mewujudkan tujuan kebijakan
pembangunan sebagaimana yang diharapkan masyarakat, maka sejak awal pembentukan
kebijakan perlu dipikirkan model perencanaan yang dipilih secara cermat. Model perencanaan yang melihat fungsi
perencanaan sebagai mekanis untuk mengubah suatu keadaan dikenal mechanistic action model atau social engineering model Model
ini menekankan peranan perencanaan sebagai usaha untuk mensistimasi aspirasi
masyarakat dan menyusun dalam dokumen tertulis. Model ini melihat masyarakat
sebagai sesuatu yang turbulent atau penuh dengan nilai sosial-budaya dan
dinamis.
Masyarakat
bukan sub sistem yang tersubordinansi, melainkan merupakan subsistem yang
mandiri. Model ini sangat penting dan
berarti karena nilai-nilai dan norma masyarakat lokal terlibat dalam proses
pembangunan kebijakan yang menentukan tindakan-tindakan selanjutnya dalam
pencapaian tujuan kebijakan.
Pendekatan
partisipasi dapat memberikan tempat kepada masyarakat untuk melakukan negosiasi
dengan pemegang kekuasaan dan gagasan mereka merupakan bahan dalam pembentukan
kebijakan hingga tingkat implementasinya.
2.4.2
Pembangunan Perkotaan
Pembangunan atau development, menurut Spacy dan
rekan-rekannya pada United Nations Educational Scientific and Cultural
Organization (UNESCO) dalam (Gie, 1999 : 32) menyatakan bahwa kata pembangunan
bila digunakan secara sendiri bermakna kemajuan sosial dan ekenomi suatu
komunitas.
Proses pembangunan meliputi lima pertumbuhan yang berlainan
yaitu :
1.
Pertumbuhan
ekstensif, inilah pertumbuhan sederhana
yang terjadi dengan menambahkan lahan-lahan pertanian atau bengkel-bengkel
kerja baru yang berjenis sama dengan yang telah ada sebelumnya tanpa mengubah
organisasi atau perlengkapannya.
2.
Penghimpunan
modal tetap tanpa perubahan teknologi.
3.
Peningkatan
terhadap struktur dan organisasi produksi.
4.
Alih
teknologi secara horizontal.
5.
Pembaharuan teknologi asli dan penyebarannya dalam perekonomian nasional
Jika melihat pembangunan menurut Sadik dalam (Gie, 1999 :
33) bahwa dalam proses pembangunan pusat perhatian semula nyaris terbatas pada
pertumbuhan ekonomi yang telah diredefinisikan sehingga kini penekanan berada
pada pertumbuhan dengan keadilan dan pemenuhan terhadap Penyediaan
layanan-layanan sosial yang penting. Peningkatan
pemasukan dalam pendidikan Memperluas peluang-peluang kerja Mengurangi
perbedaan-perbedaan dalam pendapatan (Gie, 1999 : 33) Pembangunan adalah suatu
proses yang terencana dalam mencapai perubahan secara teratur dan terarah untuk
berkembang secara dinamis menuju kearah yang lebih baik dan modernitas diberbagai
bidang.
Menurut (Siagian, 1983 : 2) pembangunan adalah suatu usaha
atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana yang dilakukan
dengan sadar oleh suatu bangsa, negara atau pemerintah menuju modernitas dalam
rangka pembinaan bangsa (nation building).
Dalam kaitan dengan definisi diatas, yaitu pembangunan
sebagai nation building, maka pada (Mikkelsen,1995 :23) pembangunan sangat
berkaitan erat dengan kebijakan dimana terdapat hubungan untuk keputusan yang
diambil dalam sebuah kebijakan dalam kerangka pembangunan itu sendiri.
Hal ini dimaksudkan sebagai suatu upaya masyarakat bangsa
untuk melakukan perubahan sosial dalam berbagai bidang kehidupan kearah
masyarakat yang lebih maju dan baik sesuai pandangan masyarakat bangsa itu (Bintoro&Mustapadidjaja,
1996 : 4)
Masih menurut Bintoro &
Mustapadidjaja bahwa, dalam proses pembangunan tersebut terdapat 5 dimensi yaitu :
1.
Kesejahteraan
sosial ekonomi, terutama indikasi pertumbuhan tetap penting karena lebih mudah
untuk dihitung (quantifiable).
2.
Dimensi
transformasi sosial dan masyarakat tradisional kearah masyarakat yang maju dan
modern.
3.
Pembangunan
bangsa (nation building concept).
4.
Menempatkan
keseimbangan antara manusia dan lingkungannya dalam proses pembangunan.
5.
Manusia
sebagai pusat proses pembangunan.
Manurut Kuncoro, pembangunan dapat dilihat sebagai proses
multi dimensi yang mencakup tidak hanya pembangunan ekonomi namun juga mencakup
perubahan-perubahan utama dalam struktur sosial, perilaku dan kelembagaan. Dalam upaya mewujudkan sasaran pembangunan di
daerah yang optimal, pembangunan daerah membutuhkan peran serta dan partisipasi
masyarakat daerah sehingga korelasi dan relevansi antara pemerintah dan
masyarakat menjadi faktor yang sangat penting untuk mengembangkan suatu daerah
dalam kegiatan pembangunannya (Kuncoro, 2004 : 14).
Pada hakikatnya usaha pembangunan merupakan suatu proses
yang panjang semenjak dimulainya dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga
evaluasi terhadap pembangunan tersebut.
Dalam pembangunan masyarakat adalah objek sekaligus menjadi subjek dan
sasaran dan pada saat yang sama juga merupakan unsur yang sangat dominan dalam
peran sertanya untuk menentukan keberhasilan atau kegagalan upaya pembangunan
yang dilaksanakan.
Banyaknya urusan yang diserahkan kepada daerah termasuk kewenangan
dalam penggalian sumber-sumber pendapatan, menuntut pemerintah daerah untuk
berupaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk menunjang pembiayaan
kegiatan pembangunan dan pemerintahan di daerah. Di sisi lain, sumber daya alam
yang akan habis suatu saat nanti membutuhkan pengelolaan yang dilakukan secara
optimal.
Dalam kaitan tersebut sangat dirasakan pentingnya otonomi
daerah yang telah dilaksanakan ini yaitu dapat memungkinkan efisiensi dalam
pelaksanaan pembangunan didaerah, seperti halnya menurut Syafrudin bahwa :
Pemerintah daerah lebih mengetahui mengenai keadaan daerahnya dari pada
pemerintah pusat. Permasalahan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan didaerah
yang muncul dapat lebih cepat diatasi karena pengetahuannya dibandingkan dengan
pemerintah pusat.
Jumlah masalah relatif lebih kecil dari pada yang dihadapi
oleh pemerintah pusat (Syamsi, 1986 : 24-25). Sady menyatakan bahwa tujuan desentralisasi
kepada daerah dalam pelaksanaan pembangunan dan kaitannya dengan pelaksanaan
otonomi daerah yang dilaksanakan di Indonesia adalah bertujuan untuk :
Mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan tentang masalah-masalah
kecil pada tingkat lokal.
Meningkatkan pengertian rakyat serta dukungan mereka dalam
usaha pembangunan sosial ekonomi. Demikian
pula pada tingkat lokal, dapat merasakan keuntungan dari pada kontribusi
kegiatan mereka sendiri. Penyusunan
program-program untuk perbaikan social ekonomi pada tingkat local sehingga
dapat lebih realistis. Melatih
masyarakat untuk bisa mengatur urusannya sendiri.
Pembinaan kesatuan nasional (Tjokroamidjojo, 1996 : 4). Namun sejauh dari berbagai konsep yang
disampaikan diatas, bumi dan manusia sebagai wujud dari area pembangunan itu
sendiri mengalami nasib yang sangat memprihatinkan dari segala apa yang
dinamakan pembangunan. Pada laporan PBB
tentang perencanaan dan kebijakan sosial pada tahun 1969 dalam International
Social Development Review seperti yang dikutip oleh Gustavo Estefa menyebutkan
bahwa “fakta dalam pembangunan mengabaikan atau dalam beberapa hal bahkan
menciptakan daerah-daerah miskin, kemandegan (staqnasi), keterpinggiran
(marginality) dan pengucilan nyata (exclusion) dari kemajuan sosial dan ekonomi
sangat jelas dan mendesak untuk diabaikan” ( Mushendra, 2002 : 26).
Korten dalam bukunya “Munuju Abad 21” lebih jauh memojokkan
kondisi dunia sebagai akibat pembangunan selama dasawarsa terakhir ini.
Masalah-masalah yang ditimbulkan adalah pada tiga hal yaitu, kemiskinan,
kerusakan lingkungan hidup dan tindak kekerasan komunal. Krisis pada tiga hal ini muncul pada tahun
1980-an (Korten, 2000 : 1).
Konsep pembangunan kota sesungguhnya tidak jauh berbeda
dengan konsep pembangunan pada umumnya. Dalam hal ini kota hanya sebagai
sasaran dari pembangunan. Pembangunan
sering diartikan sebagai perubahan, modernisasi dan pertumbuhan (Bryant
&White, 1987 : 3). Tetapi sebenarnya
pembangunan memiliki arti yang lebih dari sekedar kata-kata itu. Pengertian
pembangunan harus dapat dilihat secara dinamis dan bukan dilihat sebagai konsep
statis. Pembangunan adalah suatu
orientasi dan kegiatan usaha yang tanpa akhir (Tjokromidjojo, 1989 : 45).
Proses pembangunan sebenarnya
merupakan suatu perubahan sosial budaya.
pembangunan agar menjadi suatu proses yang dapat bergerak maju atas
kekuatan sendiri tergantung kepada manusia dan struktur sosialnya, sehingga
tidak hanya yang dikonsepsikan sebagai usaha pemerintah saja. Pembangunan tergantung dari suatu “innerwill”,
proses emansipasi diri dan suatu partisipasi kreatif dalam proses pembangunan
hanya menjadi mungkin karena proses pendewasaan (Tjokromidjojo, 1989: 1). Selain itu definisi pembangunan yang
diungkapkan oleh Michael P. Todaro
merupakan “Suatu proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan
besar dalam struktur sosial, sikap-sikap mental yang telah terbiasa dan
lembaga-lembaga nasional termasuk pula percepatan atau akselerasi pertumbuhan
ekonomi, pengurangan ketimpangan dan pemberantasan kemiskinan yang absolut” (Todaro
dalam Aminuddin dan Mursyid, 1983 : 124-125).
Pembangunan merupakan upaya sadar
untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya guna meningkatkan mutu kehidupan
rakyat melalui berbagai sektor pembangunan.
Pada dasarnya kawasan perkotaan
dapat tumbuh dan berkembang dengan sendirinya secara alamiah atau dikembangkan
melalui proses pertumbuhan yang direncanakan, diarahkan dan dikendalikan yang
dikenal dengan istilah Pembangunan Perkotaan. Pembangunan perkotaan pada hakekatnya mencakup
pembangunan fisik, sosial,ekonomi dan budaya. Pembangunan fisik kota dilakukan
melalui upaya perencanaan dan pencanangan fisik perkotaan yang dituangkan dalam
“Rencana Penataan Ruang Kota”, pembangunan sarana dan prasarana perkotaan serta
pembangunan fisik lainnya, baik lingkungan fisik alamiah maupun lingkungan
binaan. Upaya pembangunan non fisik mencakup pembangunan yang berkaitan dengan
masalah sistem kepranataan sosial, sistem kelembagaan dan administrasi,
mobilisasi pendanaan dan pengembangan sumber daya manusia (Dit, BTPP, Ditjen
Cipta Karya, 1996 : 8-9).
2.5 Kerangka
Pikir
Untuk
mengetahui bentuk- bentuk perlawanan
sosial masyarakat marginal perkotaan
terhadap kebijakan pembangunan kota di Kelurahan Wua-Wau Kecamatan kadia
kota kendari, maka penulis membuat bagan sebagai berikut :
Kebijakan
pembangunan
|
Bentuk-bentuk
gerakan
-
Gerakan perpindahan
-
Gerakan ekspresif
-
Gerakan utopia
-
Gerakan reformasi
-
Gerakan refolusioner
-
Gerakan perlawanan
|
BAB III
METODE
PENELITIAN
a.
Lokasi
Penelitian
Penelitian
ini akan dilakukan di Kelurahan Wua-Wua Kecamatan Kadia Kota Kendari, dengan
pertimbangan bahwa di lokasi tersebut terjadi permasalaan sengketa lahan antara masyarakat marginal perkotaan dengan
pemerintah provinsi Sulawesi tenggara.
b.
Informan
Penelitian
Informan
penelitian ini diambil secara sengaja (purposive
sampling) dengan pertimbangan bahwa mereka adalah masyarakat marginal
perkotaan yang melakukan bentuk-bentuk perlawanan terhadap kebijakan
pembangunan kota, sehingga mampu menjawab permasalahan penelitian ini, terkait
dengan masalah faktor-faktor penyebab terjadinya permasalaan tersebut maka
peneliti juga menambahkan informan pendukung yakni kepala Kelurahan Wua-Wua.
3.3.
Jenis dan Sumber Data
3.3.1
Jenis
Data
Adapun jenis data penelitian ini adalah
jenis kualitatif. Jenis data kualitatif adalah data yang merupakan
penjelasan-penjelasan, uraian-uraian yang di deskripsikan.
3.3.2
Sumber
Data
Selain
itu dalam penelitian ini diperoleh pula sumber data yang terdiri atas dua
bagian yaitu :
a. Primer
yaitu data yang diperoleh langsung dari sejumlah informan penelitian melalui
tahap wawancara mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya permasalahan
sengketa tanah antara masyarakat marginal perkotaan dengan pemerintah kota kendari
b. Data
Sekunder yaitu berupa catatan-catatan dari dokumen yang terdapat di kantor
kelurahan wua-wua kecamatan kadia kota kendari
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Adapun
teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Studi
kepustakaan (Library Studi) yaitu
cara memperoleh data dengan mempelajari literatur dan bahan tertulis lainnya
yang ada hubungan dengan judul penelitian.
2. Penelitian
Lapangan (field reseach) yaitu cara
memperoleh data dengan menggunakan penelitian langsung dilapangan, penelitian
ini dilakukan untuk memperoleh data primer melalui teknik :
a. Observasi
yaitu teknik dengan mengamati langsung objek penelitian mengenai perlawanan
masyarakat marginal perkotaan terhadap pemerintah profinsi terkait dengan
permasalahan sengketa tanah yang berada di kelurahan wua-wua kecamatan kadia kota
kendari.
b. Wawancara
yaitu mengadakan tanya jawab secara langsung dari informan. Dalam wawancara ini digunakan pedoman
wawancara secara sistematis berdasarkan permasalahan yang diteliti untuk
memperoleh gambaran yang jelas tentang perlawanan masyarakat marginal perkotaan
terhadap pemerintah profinsi
c. Dokumentasi
yaitu sumber informasi yang berupa bukti tertulis mengenai karakteristik lokasi
penelitian baik berupa dokumentasi pribadi maupun resmi.
3.5 Analisis Data
Data
yang diperoleh nantinya akan diolah dengan menggunakan teknik analisis
deskriptif kualitatif, yakni untuk mendapatkan gambaran sistematik tentang bentuk-bentuk
perlawanan masyarakat marginal perkotaan terhadap kebijakan pembangunan kota yang mengacu pada konsep Mils dan Habeman
dalam Satori dan A’an (2010), yaitu menggambarkan secara sistematik dan
mendalam setiap masalah yang telaah. Analisis
yang berlangsung melalui empat tahap yakni pertama,
data collection (tahap pengumpulan data)
yaitu pada saat proses memasuki lingkungan penelitian dan melakukan pengumpulan
data penelitian. Kedua, data reduction (tahap
reduksi data) yaitu pada saat proses pemilihan data, pemutusan perhatian
pada, pemusatan perhatian pada penyerderhanaan, pengabstrakan dan tranformasi
data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis dari lapangan. Ketiga,
data display (tahap penyajian data) yakni
penyajian informasi dalam memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan
dan pengambilan tindakan. Keempat , tahap pemeriksaan kesimpulan,
pada tahap ini penarikan kesimpulan dari data yang telah di analisis, sehingga
akan diharapkan penelitian benar-benar menggambarkan kenyataan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar