Selasa, 18 Oktober 2016

proposal bentuk perlawanan masyarakat marginal perkotaan terhadap kebijakan pembangunan kota kendari



PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang
Pembangunan merupakan bentuk perubahan sosial yang terarah dan terencana melalui  berbagai macam kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. Bangsa Indonesia seperti termaksud dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah mencantumkan tujuan pembangunan nasionalnya. Kesejahteraan masyarakat adalah suatu keadaan yang selalu menjadi cita-cita seluruh bangsa di dunia ini.
Kebijakan pembangunan di laksanankan di daerah dalam suatu kota adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang di arahkan untuk mengebangankan daearah dan melaraskan laju pertumbuhan suatu wilayah yang bertujuan untuk meningkatakan taraf hidup dan kesejatraan masyarakat. Otonomi dearah dapat mengelola kegiatan pembangunan berdasaarkan potensi yang ada pada sumber daya alam dan sumber daya manusia daerahnya.
Seiring dengan di berlakukan otonimi daerah, pemerinta daerah dapat memberikan pelayanan yang baik bagi warganya. Begitu  juga dengan pemenuhan kebutuhan  terhadap warganya telah banyak  yang di lakukan  oleh pemerintah daerah khususnya kota kendari, seperti penyedian terhadap sarana dan prasarana  perkotaan baik pembangunan fisik berupa pembangunan sarana  prasarana  perkotaan  serta pembangunan  fisik lainya.
Pembangunan  non  fisik mencakup  pembangunan berkaitan  dengan masalah sistem kepranataan sosial, sistem kelembagaan  dan admistrasi, baik yang telah di lakukan  maupun yang akan di lakukan, bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini menujukan  semakin besar perannya pemerintah  untuk memberikan pelayanan yang baik kepada warganya  (Wahgidin, 2002 :20).
Sebagai perwujudan wawasan nusantara, pembangunan daerah adalah bagian dari pembangunan nasional yang di arahkan untuk mengembangkan daerah  dan menyerasikan laju pertumbuhan antar daerah, antar sektor serta pembukaan dan percepatan pembangunan kawasan tertinggal, daerah terpincil yang disesuaikan dengan prioritas dan potensi daerah yang bersangkutan. Pembangunan  daerah bertujuan meningkatkan taraf hidup dan kesejatraan rakyat di derah melalui pembangunan yang serasi dan terpadu baik antar sektor maupun antara pembangunan sektoral. Dengan adanya perencanaan pembanguna oleh daerah yang efisian dan efektif, maka akan menuju tercaapainya masyarakat mandiri dan kemadirinan daerah itu sendiri yang merata seluruh tanah air (Kartasasmita, 1996 : 336).
Kebijakan pemerintah pembangunan kota yaitu pengusiran atau penggusuran paksa merupakan sebuah masalah yang telah lama berlangsung dan terus-menerus muncul di sepanjang sejarah  Indonesia ke arah demokrasi tidak mampu mengakhiri masalah tersebut.  Contoh kasus sepanjang tahun masa berdirinya kota kendari sebagai ibu kota provinsi, puluhan ribu orang dipaksa melihat pasukan keamanan membongkar rumah dan menghancurkan harta benda milik pribadi mereka dengan hanya sedikit pemberitahuan sebelumnya dan tanpa prosedur yang layak maupun kompensasi. Beberapa kasus penggusuran, banyak keluarga yang kehilangan rumah, tetapi pada kasus lain, ribuan orang kehilangan investasi yang telah mereka tanamkan selama bertahun-tahun atau bahkan beberapa puluh tahun hanya dalam beberapa jam. Kasus- kasus penggusuran tempat tinggal dan tempat usaha kaum miskin yang makin marak terjadi belakangan ini di berbagai kota kendari merupakan fenomena sosial yang menimbulkan konflik vertikal.
Seperti penggusuran Pedagang Kaki Lima (PKL) dan pemukiman masyarakat miskin yang terjadi di wilayah keluraan wua-wua kecamata kadia kendari dan juga kasus penggusuran Pedagang Kaki Lima (PKL).  Dalam penggusuran tersebut melekat makna pemaksaan dan kekerasan oleh kolaborasi penguasa yang secara politik maupun ekonomi kuat, dan tidak ada dialog serta penyelesaian masalah secara damai,  dalam penggusuran, yang ada hanyalah raungan mesin kekuasaan dan jerit tangis si tergusur.
Akibat kebijakan pembangunan penggusuran  lahan yang dilegitimasi oleh penguasa berbagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan negara sering kali dilakukan rakyat, baik bersifat secara individual maupun kolektif, terselubung, sekadar aksi unjuk rasa hingga aksi pemberontakan, Hampir semua aksi perlawanan rakyat yang berkaitan dengan persoalan agraria tidak lepas dari corak pemerintahan yang tengah berkuasa.  Artinya, berbagai bentuk aksi gerakan perlawanan dan bahkan pembrontakan diakibatkan oleh kebijakan negara yang seringkali menjadikan tanah sebagai bagian dari perpolitikan, alat kepentingan penguasa.
Meskipun secara  normatif pembangunan daerah yang cenderung ke arah industrialisasi menjadi tulang punggung perekonomian, nyatanya ketidakpuasan menyangkut persoalan agraria tetap saja tidak terhindarkan. 
Bagian yang paling penting dari suatu kebijakan berdasarkan paparan diatas adalah agar dikatakan baik apabila dilandasi dan didasari oleh landasan konsep dan kerangka yang logis yang mendasari pembuatannya. Kebijakan pembangunan kota kendari ini yang merupakan kebijakan yang bersumber dari pemikiran Pemerintah Kota Kendari, tidak memiliki landasan latar belakang konsep yang mendasarinya. Oleh karena itu, peneliti akan mencoba untuk merekonstruksi mengenai latar belakang konsep yang mendasari kebijakan pembangunan kota kendari melalui implementasi program ini dilapangan, sehingga dapat diketahui apakah program ini memang sudah memenuhi syarat kebijakan dikatakan baik dan logis dalam pembuatan dan pelaksanaannya.
Oleh karena itu, sehubungan dengan bentuk kebijakan  pembangunan kota kendari adalah merupakan salah satu kebijakan pemerintah yang bersifat otoritas dan belum memiliki kerangka teori memadai yang mendasarinya, sedangkan landasan teori sangat dibutuhkan sebagai landasan dalam membuat sebuah kebijakan  yang ideal (Sabatier dan Mazmanian,1983).  Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti merasa perlu melakukan kajian terhadap kebijakan pembangunan kota kendari, dan peneliti juga merasa perlu mengetahui bagaimana bentuk-bentuk perlawanan sosial masyarakat marginal perkotaan teradap kebijakan pembangunan kota.
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu
1.      Bagaimana bentuk-bentuk perlawanan sosial masyarakat marginal perkotaan kelurahan wua-wua kecamatan kadia kendari atas kebijakan pembangunan kota?
1.3  Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini yaitu :
1.      Untuk mengetahui bentuk-bentuk perlawanan sosial masyarakat marginal perkotaan kelurahan wua-wua kecamatan kadia kendari atas kebijakan pembangunan kota.
1.4   Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah :
1.      Sebagai bahan acuan peneliti selanjutnya yang penelitiannya relevan dengan judul ini.
2.      Sebagai bahan masukan bagi pemerintah Sulawesi Tenggara, khususnya pemerintah Kecamatan Kadia Keluraan Wua-wua atas penggusuran lahan masyarakat.
3.      Sebagai bahan informasi bagi aparat pemerintah dalam merancang kebijakan yang terkait dengan kehidupan masyarakat perkotaan














BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1        Konsep Gerakan Sosial
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gerakan sosial adalah tindakan atau agitasi terencana yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat yang disertai program.  Secara teoritis Gerakan Sosial merupakan sebuah gerakan yang lahir dari dan atas prakarsa masyarakat dalam usaha menuntut perubahan dalam institusi, kebijakan atau struktur pemerintah.  Di sini terlihat tuntutan perubahan itu biasanya karena kebijakan pemerintah tidak sesuai lagi dengan konteks masyarakat yang ada atau kebijakan itu bertentangan dengan kehendak sebagian rakyat. Karena gerakan sosial lahir dari masyarakat maka kekurangan apapun ditubuh pemerintah menjadi sorotannya.  Dari literatur defenisi tentang gerakan sosial, adapula yang mengartikan gerakan sosial sebagai sebuah gerakan yang anti pemerintah dan juga pro pemerintah. Ini berarti tidak selalu gerakan sosial itu muncul dari masyarakat tapi bisa juga hasil rekayasa para pejabat pemerintah atau penguasa.
 (Situmorang 2007) Gerakan sosial lahir dari situasi dalam masyarakat karena adanya ketidakadilan dan sikap sewenang-wenang terhadap masyarakat. Dengan kata lain, gerakan sosial lahir dari raksi terhadap sesuatu yang tidak diinginkan rakyatatau menginginkan perubahan kebijakan karena dinilai tidak adil. 
 (Wayudin, 2005 : 198) Maka  gerakan sosial dapat dikategorikan sebagai sebuah manifestasi kepentingan orang-orang yang tidak mendapatkan jaminan dari adanya kekuasaan secara struktural negara.
    Sidney Tarrow (1998) berpendapat  tantangan kolektif  yang di dasarkan atas tujuan dan solidaritas bersama dalam interaksi berkelanjutan dengan kelompok elit ‘saingan atau musu dan pemeggang otoritas.  (the social movent society.1998)
    Anthony Giddens (2006).  Menyatakan Gerakan Sosial sebagai upaya kolektif untuk mengejar kepentingan bersama atau gerakan mencapai tujuan bersama atau gerakan bersama melalui tindakan kolektif (action collective) diluar ruang lingkup lembaga-lembaga yang mapan.  Sedangkan Mansoer Fakih (2002) menyatakan bahwa Gerakan Sosial dapat diartikan sebagai kelompok yang terorganisir secara tidak ketat dalam rangka tujuan sosial terutama dalam usaha merubah struktur maupun nilai sosial.
 Robert Misel dalam bukunya yang berjudul Teori Pergerakan Sosial mendefenisikan Gerakan Sosial sebagai seperangkat keyakinan dan tindakan yang tak terlembaga yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk memajukan atau menghalangi perubahan dalam masyarakat.
Gerakan sosial lahir pada mulanya sebagai suatu kelompok orang yang tidak puas terhadap keadaan.  Kelompok itu semula tidak terorganisasi dan terarah, serta tidak memiliki rencana. Orang-orang saling membagi duka dan mengeluh para cendikiawan menulis karangan para warga Negara menulis surat pembaca editor, orang melakukan eksperimen menyangkut bentuk eksperimen baru.  Pemimpin dan organisasi pada kebanyakan gerakan biasanya muncul tidak sama setelah situasi demikian tercipta.
Setelah mengalami tahap aktif yang jarang melebihi masa satu atau dua dasawarsa, gerakan itu lalu mengalami penurunan kegiatan. Kadangkala gerakan itu sempat menciptakan organisasi permanen atau suatu perubahan (hak pilih bagi kaum wanita), dan sering kali gerakan itu hilang begitu saja tanpa bekas yang berarti (gerakan Esperanto yang menuntut adanya bahasa universal)
Denny JA menyatakan adanya tiga kondisi yang lahirnya gerakan sosial sebagai berikut :
1.                  Gerakan sosial lahir dengan kondisi yang memberikan kesempatan bagi gerakan itu.pemerinta yang moderat, memberikan kesempatan yang lebih besar bagi timbulnya gerakan sosial ketimbang pemerintah yang sangat otoriter
2.                  Gerakan sosial timbul karena meluasnya ketidak puasan atas situasi  yang ada.  Perubahan dari masyarakat tradisional kemasyarakat modern, misanya akan menimbulkan kesenjangan ekonomi yang semakin meluas antara si kaya dan simiskin
3.                  Gerakan sosial semata-mata masala kemampuan pemimpin dari tokoh pengerak.  Sang pengerak akan menjadi inspirator membuat jaringan, membangun organisasi yang menyebabkan sekelompok orang termotifasi untuk terlibat dalam gerakan tersebut.  
Dalam A Dictionary of Sociology, gerakan sosial didefinisikan sebagai upaya terorganisir yang dilakukan oleh beberapa pihak untuk merubah atau menolak  perubahan yang terjadi dalam salah satu sendi atau beberapa sendi kehidupan masyarakat. Istilah tersebut untuk pertama kali digunakan oleh ( Claude Henri Saint Simon)  untuk mengidentifikasi gerakan protes masyarakat yang terjadi di Perancis pada abad ke-18 Di era kontemporer, terminus  gerakan sosial menunjuk pada suatu kelompok atau organisasi yang berada di luar mainstreamsistem pemerintahan yang berlaku.
 Dengan demikian lebih tampak sebagai suatu bentuk tindakan oposisi atas status quo. Dalam hal ini, disiplin sosiologi melakukan kajian atasnya terkait strategi rekruitmen dinamika serta dampak yang ditimbulkan dari suatu kelompok atau organisasi sosial terhadap kehidupan masyarakatlebih pada kajian sosiologi organisasi.  Karakter dan penyebab lahirnya gerakan social setidaknya memiliki empat karakter utama, yaitu:
1.            Tindakan kolektif
2.            Bertujuan
3.            Terorganisir
4.            Dan bersifat spontan.
Namun kiranya perlu dicatat bahwa gerakan sosial berbeda dengan gerakan politik meskipun pada ranah yang berlainan keduanya memiliki pertautan yang begitu erat dan tak terpisahkan.  Gerakan sosial umumnya lahir dan diinisiasi oleh beberapa individu atau kolektif dalam masyarakat semisal kaum intelektual, cendekiawan, kelompok atau organisasi yang memiliki kesadaran berikut perhatian khusus terhadap masyarakat dan lingkungannya. Tegas dan jelasnya, berbagai pihak pencetus gerakan sosial tersebut tak terintegrasi oleh mainstream sistem politik yang berlakubukan pelaku pemerintahan.  Namun, ada kalanya pula ketika elit pemerintahan membelot dan menggandeng moasyarakat untuk melakukan perubahan, dapat dikategorikan sebagai bentuk gerakan sosial mengingat keterlibatan sipil di dalamnya.
Di satu sisi, gerakan politik diinisiasi oleh mereka yang terintegrasi dengan sistem pemerintahan yang berlaku sebagai misal termanifestasikan dalam bentuk manuver politik, koalisi dan lain sebagainya. Begitu pula, sebentuk gerakan masyarakat yang mengatasnamakan partai tertentu di jalanan tidaklah dapat disebut sebagai gerakan sosial mengingat ter-integrasi-nya mereka dalam sistem politik secara tak langsung berikut ditemuinya kontrol (arahan) partai secara terpusat.
Pada ranah yang berlainan, Mc Adam dan Tarrow menguraikan penyebab mungkinnya suatu gerakan sosial muncul ke permukaan. Menurut mereka, terdapat empat elemen (variabel) yang mempengaruhinya antara lain sebagai berikut:
1.      Lembaga politik yang mulai mengalami keterbukaan
2.      Tengah tercerai-berainya keseimbangan politik, sedang keseimbangan baru belum terbentuk.
3.      Terjadinya konflik di antara para elit politik.
4.      Para pelaku perubahan digandeng oleh para elit pemerintahan untuk melakukan perubahan.
Kesadaran Sebab Utama Lahirnya Gerakan Sosial Kiranya, tak ada yang lebih penting selain term (kesadaran) ketika kita berbicara mengenai beragam bentuk emansipatoris individu maupun kolektif.  Marx menelurkan konsep true conciousness (kesadaran yang benar) pada kaum buruh guna mendobrak dan menghancurkan tatanan feodal-kapitalis demi terwujudnya masyarakat egaliter, sama rasa, sama rata.  Sartre menggunakan istilah otentitas bagi individu yang mampu melepaskan diri dari berbagai bentuk belenggu dan menemui dirinya sebagai entitas yang faktual bebas (sebebas-bebasnya). Bordieu mencetuskan istilah doxa bagi setiap individu maupun kolektif yang sukses melakukan hijrah dari penindasan habitus lama guna beralih pada habitus baru yang emansipatoris.
Secara ringkas dan sederhana, kesadaran dapat diartikan sebagai suatu bentuk pola pikir yang menginsyafi bahwa segala sesuatu tidaklah tercipta secara sui generic (apa adanya) melainkan melalui serangkaian proses berikut pentahapan yang mendahuluinya di mana setiap kita memiliki kuasa guna mempengaruhi, merombak bahkan menghancurkannya.  Dalam tataran sosiologi kontemporer, konsep kesadaran dan keterkaitannya dengan fenomena gerakan sosial menemui bentuknya pada ranah pengkajian (sosiologi imajinasi) C. Wright Mills serta “sosiologi reflektif” Mahzab Frankfurt (Herbert Marcuse-Theodor Adorno-Max Hokheimer).
2.1.1  Bentuk-bentuk Gerakan Sosial8
Disekitar kita banyak terdapat macam-macam gerakan sosial seperti halnya gerakan buruh, gerakan petani, gerakan mahasiswa, gerakan religius, gerakan sosial, gerakan radikal, gerakan ideologi, dan kalau kita menganalisis secara terperinci maka sangat banyak macam-macam gerakan sosial yang tumbuh di dalam tataran masyarakat.
Karena keragaman gerakan sosial sangat besar maka berbagai ahli sosiologi mencoba menklarifikalsikan dengan menggunakan kriteria tertentu. Membentuk Gerakan Sosial menjadi enam bentuk yaitu
1.      Gerakan Perpindahan
Orang yang kecewa bisa saja menginginkan perpindahan. Manakala banyak yang melakukan perpindahan ke suatu tempat pada waktu yang bersamaan, maka hal tersebut disebut gerakan perpindahan social. Beberapa contoh gerakan seperti itu ialah migrasi orang-orang Irlandia ke Amerika Serikat setelah terjadi kegagalan panen kentang, kembalinya orang-orang yahudi ke Israel, yang dikenal sebagai istilah zionisme, perlarian dari orang-orang Jerman Barat sebelum mereka terkungkung oleh Tembok berlin, dan lain-lain.
2.      Gerakan Ekspresif
Bilamana orang tidak mampu pindah secara mudah dan mengubah keadaan secara mudah pula, maka mereka mungkin saja akan mengubah sikap mereka. Melalui gerakan ekspresif orang mengubah reaksi mereka terhadap kenyataan, bukannya berupaya mengubah kenyataannya itu sendiri.  Terdapat banyak ragam gerakan ekspresif, mulai dari music, dan busana sampai dengan bentuk yang serius (berbagai gerakan keagamaan, dan aliran kepercayaan).  Gerakan ekspresif dapat membantu orang untuk menerima kenyataan yang biasa muncul dikalangan orang tertindas. Meskipun demikian, cara seperti itu berkemungkinan untuk menimbulkan perubahan tertentu.
3.      Gerakan Utopia
Gerakan seperti ini merupakan upaya untuk menciptakan suatu masyarakat sejahtera dalam sekala kecil. Model tersebut dapat dicontoh dan mungkin dapat diterapkan pada masyarakat luas.  Di Amerika Serikat pernah terdapat puluhan komunitas utopia. Tidak banyak dari sekian komunitas itu mampu bertahan sampai beberapa tahun.Barangkali gerakan utopia yang paling berhasil belakangan ini adalah gerakan kibut Israel.
4.      Gerakan Reformasi
Gerakan ini merupakan upaya untuk memajukan masyarakat tanpa banyak mengubah struktur dasarnya. Gerakan semacam ini biasanya muncul di Negara-negara demokratis, sebaliknya jarang terjadi di Negara-negara yang tidak membenarkan perbedaan pendapat.  Dalam sejarah Amerika Serikat tercatat puluhan gerakan reformasi, misalnya gerakan abolisi (penghapusan), misalnya gerakan pelarangan minuman keras, gerakan kaum wanita, gerakan penciptaan lingkungan, gerakan kaum wadam, dan masih banyak lagi.  Ratusan benih gerakan reformasi lainnya tidak sempat tumbuh sebagai gerakan reformasi yang sebenarnya.
5.      Gerakan Revolusioner
Revolusi social merupakan gerakan perubahan system social yang berlangsung secara besar-besaran dan tiba-tiba, serta biasanyamenggunakan kekerasan.  Pembentrokan istana yang tandai oleh perubahan penguasa tanpa adanya perubahan sistem kelas social atau distribusi kekuasaan dan pendapatan dikalangan kelompok masyarakat, tidak termasuk dalam klasifikasi revolusi social.  Para orang revolusioner pada umumnya menentang pengikut gerakan reformasi, karena orang-orang revolusioner berkeyakinan bahwa reformasi yang berarti tidak mungkin tercipta bila mana sistem social yang ada tetap berlaku.
Proses terciptanya revolusi dapat dilihat pada revolusi Iran yang terjadi pada masa itu.
a.       Menyebarluasnya perasaan ketidakpuasan dan menurunnya dukungan terhadap rezim yang   berkuasa (orang-orang Iran di dalam dan di luar negeri melakukan demontrasi yang menentang Shah Iran).
b.      Meningkatnya kekacauan, kerusuhan, dan pemboman, yang disertai dengan ketidak mampuan pemerintah menciptakan ketenangan, kecuali dengan menggunakan penekanan keras.
c.       Digulingkannya pemerintah (Shah Iran melarikan diri)  bersamaan dengan menyatunya angkatan bersenjata ke dalam gerakan revolusi.
Revolusi sosial merupakan satu transformasi menyeluruh tatanan sosial, termasuk didalamnya institusi pemerintah dan sistem strafikasi.Revolusi di Rusia pada tahun 1917 dan revolusi di Tiongkok pada tahun 1949 dapat dimasukan dalam kategori ini, karena di kedua masyarakat tersebut sistem budaya, sosial, politik dan ekonomi lama dirombak menyeluruh diganti sistem komunis. Apa yang membedakan revolusi dengan gerakan sosial lain. Menurut Giddens suatu revolusi harus memenuhi tiga kriteria antara lain sebagai berikut:
a.       Melibatkan gerakan sosial missal
b.      Menghasilkan proses reformasi dan perubahan
c.       Melibatkan ancaman atau penggunaan kekerasan
Dengan demikian menurut Giddens, revolusi perlu dibedakan dengan kudeta dan pembrontakan, karena menurutnya kudeta hanya melibatkan penggantian pemimpin dan tidak mengubah institusi politik sedangkan pembrontakan tidak membawa perubahan nyata meskipun melibatkan ancaman atau penggunaan kekerasan.
   Jika gerakan hanya bertujuan untuk mengubah senagian institusi dan nilai, maka nama yang diberikan Kornblum ialah gerakan reformis (reformist movement).  Atas dasar kriteria ini gerakan Boedi Oetomo yang didirikan pada tahun 1908 di Jakarta merupaskan gerakan reformis, karena tujuan utama mereka adalah memberikan pendidikan Barat formal kiepada putra-putri pribumi.
Gerakan yang berupa mempertahankan nilai dan institusi masyarakat disebut Kornblum gerakan konsevatif (conservative movement). Di Amerika Serikat, misalnya usaha kaum feminis ditahun 1980-anj untuk melakukan perubahan pada konstitusi demi menjamin persamaan hak lebih besar antara laki-laki dan perempuan (ERA atau Equal Rights Amandment) ditentang dan akhirnya digagalkan oleh gerakan konsevatif perempuan STOP-ERA “suatu gerakan anti feminis yang melihat sebagai ancaman terhadap peranan perempuan dalam keluarga sebagai istri dan ibu.
Suatu gerakan yang disebut reaksioner (reactionary movement) manakala tujuannya ialah untuk kembali ke institusi dan nilai di masa lampau dan meninggalkan institusi dan nilai masa kini.  Contoh yang di berikan Kornblum ialah gerakan Ku Klux Klan di Amerika Serikat.  Organisasi rahasia ini berusaha mengembalikan keadaan di Amerika Serikat ke masa lampau di kala instituisi sosial mendukung asas keunggulan orang kulit putih di atas orang kulit hitam (White Supermacy).

6.      Gerakan Perlawanan (Resistance Movement)
Gerakan  dan Ku Klux Klan lahir dibagian selatan sesuai perang saudara dan berjuang agar peran orang-orang kulit hitam tetap tidak merubah.  Gerakan seperti itu muncul kembali dalam berbagai kurun waktu dipelbagai tempat, dan berperan sebagai gerakan pribumi yang berupaya untuk melindungi orang-orang amerika yang sebenarnya dalam menghadapi orang-orang kulit hitam, Katolik, asing, atheis, dan orang-orang liberal.
Banyak sekali gerakan perlawanan dewasa ini menyatakan kekecewaan mereka terhadap arah perkembangan bangsa Amerika.Beberapa di antaranya adalah perkembangan bangsa Amerika.Beberapa diantaranya adalah gerakan pendukung-kehidupan yang ingin meniadakan pengesahan aborsi, gerakan anti pornografi, gerakan yang berupaya mengesahkan jam ibadah di sekolah, dan gerakan lainnya.
2.1.2  Gerakan Sosial dalam Perspektif Sosiologi
Pada gerakan social dalam perspektif teori sosiologi terdapat empat macam, yaitu:
a.      Marxisme (Teori Marx).  Menegaskan bahwa dimasyakat industri gerakan social dan revolusi berasal dari kontradiksi structural utama antara kapital dan buruh. Merka adalah aktor-aktor utama dalam konflik sosial ini. Ketidakpuasan yang oleh kaum buruh inilah yang akhirnya memunculkan gerakan sosial yang bertujuan memperjangkan nasib mereka.
b.      Interaksionisme (Teori  Simmel 1908).  Memahami konflik sebagai sebuah proses interaksi.  Pada tahun 1920an, Mashab Chicago melalui teori interaksionalisme simbolik juga mengadopsi pemikiran Simmel ini untuk mempelajari tentang perilaku kolektif dan gerakan social. Berdasarkan asumsi bahwa individu dan kelompok orang bertindak berdasarkan espektasi bersama dan bahwa gerakan social muncul dari suatu situasi yang tak terstruktur atau chaos.  Suatu situasi dimana hanya ada sedikit pedoman cultural bersama atau pedoman itu berantakan dan harus didefinisikan kembali.  Menurut teori ini, gerakan social adalah ekspresi kolektif dari rekonstruksi situasi social tersebut. Jadi gerakan social adalah “usaha kolektif untuk menciptakan tatanan kehidpan yang baru (Blummer, 1939).
c.       Fungsionalisme struktural
Fungsionalisme structural ada tiga varian dalam model gerakan sosial menurut teori fungsionalis struktural
1.       Teori masyarakat massa.  Teori ini mempostulatkan individu sebagai yang teratomisasi (Kornhauser, 1959), Karena tercabut dari akarnya akibat perubahan social yang cepat, urbanisasi dan hilangnya ikatan tradisional, terisolasi dari relasi kelompok dan kelompok normative, maka individu didalam masyarakat massa bebas dan cenderung berpartisipasi dalam jenis kelompok baru seperti gerakan social.
2.      Teori tekanan sturktural.  Teori ini memandang bahwa penyebab utama kemunculan gerakan social adalah terganggunya keseimbangan dari system social (Smelser, 1962).  Nonkorespondensi antara nilai-nilai yang dianut dengan praktek masyarakat actual, tertutupnya fungsi institusional, elemen disfungsional yang mengganggu kelangsungan system, semuanya merupakan hal-hal yang dapat mengganggu keseimbangan system social, memicu ketegangan structural dan kemudian memacu gerakan sosial.
3.      Teori deprivasi relative.  Teori ini merupakan salah satu turunan psikologi sosial dari teori tekanan.  Tekanan ini bukan diakibatkan oleh diskrepansi structural tetapi berasal dari perasaan subyektif yaitu ketika orang merasa gagal menggapai harapannya.  Kebutuhan yang terpenuhi tidak sesuai dengan yang diharapkan.  Perbaikan kondisi ekonomi dan politik yang membesarkan harapan dalam kelompok, akan mudah memunculkan gerakan social apabila realitas tampak tidak sesuai dengan harapan. Ketidakpuasan dan frustrasi akan bermunculan.  Inilah yang menyebabkan gerakan social.
4.       Neo-utilitarian.  Asumsi dasar teori ini adalah bahwa gerakan social berkembang dari aktivitas organisasional apabila mereka berhasil memobilisasi sumber daya material dan simbolis seperti uang, waktu dan legitimasi.  Gerakan social dijelaskan dalam term kesempatan, strategi, mode komunikasi dan kompetisi dengan kelompok dan otoritas yang memiliki kepentingan yang saling bertentangan
2.2  Konsep masyarakat marginal perkotaan
2.2.1     Pengertian masyarakat marginal perkotaan
Marginal berasal dari bahasa inggris ‘marginal’ yang berarti jumlah atau efek yang sangat kecil. Artinya marginal adalah suatu kelompok yang jumlanya sangat kecil atau bisa juga di artikan sebagai kelompok prasejatera.  Marginal juga identik dengan masyarakat kecil atau kaum terpinggirkan.  Jadi kaum marginal adalah masyarakat kelas bawah yang terpinggirkan dari kehidupan masyarakat.
Secara umum mereka yang tergolong masyarakat terpinggirkan adalah orang miskin, gelandangan, pemulung, kaum buruh dengan gaji rendah, anak jalanan para penyandang cacat, terjangkit penyakit HIV dan AIDS, masyarakat tradisional korban perdaganggan manusia, korban kekerasan domestik, remaja yang mengalami koflik dengan hukum, buruh tani, pekerja seks dan lainya, Mereka terpinggirkan karena tekanan ekonomi, sosial, budaya, dan politik, termasuk kebijakan dan program pemerintah yang tidak berpihak.
Marginalisasi adalah fenomena pedesaan yang menimbulkan kemelaratan dan ciri kebudayaan pribumi tertentu yang biasanya tertahan yang menunjukan fenomena integrasi dalam masyararakat artinya peminggiran oleh sekelompok orang ( Pablo Gonzales Casanova 1995, fenomena pedesaan, Intan Pariwara ).
Marginalisasi adalah suatu keterpaksaan seseorang dalam menghadapi kenyataan kehidupan sehari-hari yang mungkin sesekali terkait secara mendalam dengan pergaulan dalam menjalankan proses aktivitas administrasi secara menyeluruh ( Dr. H. Makmur, M.si. 2002, patologi serta kerapianya dalam ilmu admitrasi & organisasi, LEUKA ADITAMA  ).
Marginalisasi merupakan sebuah proses sosial yang membuat masyarakat menjadi marginal, baik terjadi secara alamia maupun dikreasikan sehingga masyarakat memiliki kedudukan sosial yang terpinggirkan.  ( Mullaly, ikhsankurnia 2001, teori marginalisasi masyarakat  ).
Beberapa kriteria atau indikator marsyarakat marginal sebagai berikut :
1.      Secara sosiologis.  Yang termasuk kelompok marginal adalah buruh anak, seorang / kelompok /  masyarakat yang mendapatkan perlakuan tidak adil atau diskriminatif karena persoalan gender, seseorang atau sekelompok masyarakat yang mengalami peminggiran sosial, dan masyarakat atau kelompok masyarakat yang hak asasinya terlanggar.  Dengan demikian, individu atau kelompok masyarakat yang mendapat ketidak adilan/ peminggiran karena persoalan-persoalan marginal termasuk buruh anak ketidak setaraan gender, ekslusi sosial, dan kekerasaan hak asasi.
2.      Secara infastruktur.  Individu atau kelompok masyarakat dari kultur maupun ia perasal, ketika keberadaan mereka dalam kehidupan secara geografis mengalami kesulitan pada akses untuk mendapatkan air bersi, jarak transportasi yang tak terjangkau, atau pun akses pada  Bank dan komunikasi yang sulit maka kelompok masyarakat ini bisa di katakana marginal. Kebanyakan kelompok masyarakat terisolir dengan masyarakat seperti akses pada air bersi, jarak terhadap fasilitas transportasi, Bank, komunikasi dan suplay energy lainya.
3.      Secara kesehatan.  Kelompok masyarakat yang harapan hidupnya renda, tingkat kematian bayinya tinggi, masyarakat yang mengalami gizi buruk dan kekurangan gizi, seperti tingkat harapan hidup, kematian bayi, kekurangan gizi dan giji buruk pada masyarakat umum
4.      Secara pendidikan.  Sekelompok masyarakat yang di dalamnya tingka buta huruf tinggi banyak yang tidak sekolah, seperti tingkat buta huruf rasio bruto pendaftaran sekolah dan lain-lain.
5.      Secara politik.  Individu atau kelompok masyarakat yang terhambat atau tidak di beri ruang untuk ikut berpartipasi dalam pemilu.  Begitu pun kelompok masyarakat yang tidak mendapatkan kenyamanan dan selalu terancam baik dalam masalah keamanan maupun dari kekerasan.  Ini tertentu pemenuhan dan penangananya pun berbeda. Seperti partisipasi dalam pemilu, indeks korupsi, status keamanan, criminal atau kekerasan.
6.      Secara ekonomi.  Sekelompok masyarakat maupun individu yang pendapatan perkapitanya rendah sehingga iya termasuk kategori miskin, batas bawah pendapatan perkapita dalam hal ini berbeda-beda antara yang biasanya di tetapkan pemerintah maupun lembaga-lembaga international. Begitu pun kelompok masyarakat yang menganggur dan tidak memiliki pekerjaan, seperti pendapatan domestik perkapita rendah, tingkat pengangguran tinggi dan lain-lain.
7.      Secara ekologis.  Kelompok masyarakat yang sumber daya alamnya rusak, terksploitasi sehingga mereka tidak dapat memanfatkanya lagi untuk kehidupan, seperti polusi lingkungan, kondisi sumberdaya alam yang hancur sehingga tidak bisa berlanjut.
8.      Secara indeks pembangunan. Sekelompok masyarakat yang indeks pembangunanya rendah, yang meliputi pertumbuhan ekonominya rendah pemerentaan ekonomi juga timpang dan tidak merata, harapan hidup rendah, tingkat melekat.
2.2.2    Jenis Kelompok Marginal Perkotaan
Beberapa jenis kelompok marginal sebagai berikut :
a.       Pedagang asongan adalah pedangang yang menjajakan sesuatu berupa barang di dalam kendaraan umum diperempatan jalan.
b.      Pengemudi becak adalah seseorang yang mencari nafkah dengan mengemudikan becak.  Pekerjaan sebagai pengemudi becak sangat berat secara fisik, sebab ia menggunakan tenaga .manusia secara sosial, pengemudi becak menyandang status rendah, bahkan dikalangan kelompok marjinal
c.       Keluarga miskin adalah suatu kondisi dimana fisik masyarakat yang tidak memiliki akses ke prasarana dan sarana dasar lingkungan yang menandai.  Dengan kualitas perumahan dan pemukiman yang jauh dibawah standar kelayakan serta mata pencaharian yang tidak menentu yang mencakup seluruh multidimensi, yaitu dimensi politik, dimensi sosial, dimensi lingkungan, dimensi ekonomi, dan dimensi asset.
d.      Pemulung adalah orang yang memungut barang-barang bekas atau sampah tertentu untuk proses daur ulang.  Pekerjaan memulung sering di anggap memiliki konotasinegatif.  Ada dua jenis pemulung : pemulung lepas, yang bekerja sebagai swausaha,dan pemulung yang tergantung pada seorang Bandar yang meminjamkan uang  ke mereka dan memotong uang pinjaman tersebut saat membeli barang dari pemulung- pemulung berbandar hanya boleh menjual barang ke bandar.  Tidak  jarang bandar member pemondokan kepada pemulung, biasanya di atas tanah yang didiami bandar, atau dimana terletak tempat penampungan barangnya.  Pemulung merupakan mata rantai pertama dari industri daur ulang
e.       Buruh yaitu pekerja tenaga kerja atau kariyawan pada dasarnya adalah manusia yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan berupa pendapatan baik berupa uang maupun bentuk lainnya kepada bemberi kerja atau pengusaha baru atau majikan lagi
f.       Petani miskin adalah seseorang yang bergerak dibidang pertanian.  Utamanya dengan cara melakukan pengelolaan tanah dengan tujuan untuk menumbuhkan dan memelihara tanaman (seperti padi, bunga, buah dan lain-lain) dengan harapan untuk memperoleh hasil dengan tanaman tersebut untuk digunakan sendiri ataupun menjualnya kepada orang lain.mereka juga dapat menyediakan bahan mentah bagi industry, serealia untuk minuman beralkohol, buah untuk jus, dan wol atau kapas untuk penenunan dan pembuatan pakaian
g.      Anak jalanan adalah seseorang yang masih belum dewasa (secara fisik dan phsykis).  Gelandangan/atau pengemis adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak menpunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap diwilayah tertentu menyembara ditempat umum yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan untuk mendapatkan uang guna mempertahankan hidupnya yang terkadang mendapat tekanan fisik atau mental dari lingkunganya.

2.3  Konsep Masyarakat  Perkotaan
2.3.1  Pengertian Masyarakat perkotaan
Masyarakat perkotaan adalah masyarakat urban dari berbagai asal atau desa yang bersifat heterogen dan majemuk karena terdiri dari berbagai jenis pekerjaan/keahlian dan datang dari berbagai ras, etnis, dan agama.  Mereka datang kekota dengan berbagai kepentingan dan melihat kota yang dimiliki stimulus (rangsangan) untuk mewujutkan keinginan.  Maka tiaklah aneh apabila kehidupan dikota diwarnai oleh sikap yang individualistis karena meraka memiliki kepentingan yang beragam. 
Max Weber berpendapat bahwa suatu tempat adalah kota apabila penghuni setempatnya dapat memenuhi kebutuhan sebagian besar kebutuhan ekonominya di pasar lokal.  Barang-barang itu harus dihasilkan oleh penduduk dari pedalaman dan di  jualbelikan di pasar itu.  Jadi menurut Max Weber cirri kota adalah adanya pasar, dan sebagai benteng, serta mempunyai sistem hukum dan lain-lain tersendiri, dan bersifat kosmopolitan.
Wirth, mendefinisikan kota sebagai pemukiman yang relatif besar, padat dan permanen, dihuni oleh orang-orang yang heterogen kedudukan sosialnya.  Akibatnya hubungan sosialnya menjadi longgar  acuh dan tidak pribadi (impersonal  relation). 
Karl Marx dan F. Engels memandang kota sebagai persekutuan yang di bentuk guna melindungi hak milik dan guna memperbanyak alat-alat produksi dan alat-alat yang diperlukan agar anggota masing-masing dapat mempertahankan diri. 
Harris dan Ullman berpendapat bahwa kota merupakan pusat pemukiman dan pemnfaatan bumi oleh manusia. Kota-kota sekaligus merupakan paradoks.  Pertumbuhannya yang cepat dan luasnya kota-kota menunjukan keunggulan dalam mengeksploitasi bumi, tetapi di pihak lain juga berakibat munculnya lingkungan yang miskin bagi manusia. Yang perlu dirhatikan Menurut Harris Ullaman adalah bagaimana membangun kota di masa depan agar keuntungan dari kosentrasi pemukiman tidak mendatangkan kerugian atau paling tidak kerugian dapat di perkecil. 
Menurut ahli Geografi Indonesia yakni Prof. Bintarto, (1984: 36) sebagai berikut: kota dapat di artikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia di tandai oleh dengan strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya  yang  meterialistik, atau dapat pula di artikan sebagai benteng budaya yang di timbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala-gejala pemutusan penduduk yang cukup besar dengan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis di bandingkan dengan daerah di belakangnya.
2.3.2  Ciri-Ciri Tipe Masyarakat Perkotaan
Ada beberapa ciri yang menonjol pada masyarakat perkotaan sebagai berikut :
a.        Kehidupan keagaanya berkurang, kadangkala tidak terlalu di pikirkan karena memeng kehidupan cenderung kearah kedunia saja.
b.      Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya tanpa harus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain (individualisme)
c.       Pembagian kerja di antara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata.
d.      Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak di peroleh warga kota
e.       Jalan kehidupan yang cepat di kota-kota, mengkibatkan pentingnya faktor waktu bagi warga kota, sehingga warga kota, sehingga pembagian waktu yang teliti sangat penting, untuk dapat mengejar kebutuhan-kebutuhan seorang individu.
f.       Perubahan-perubahan tanpak nyata di kota sebab kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh-pengaruh dari luar.
Teori talcott parsons mengenai tipe masyarakat kota di antaranya mempunyai cirri-ciri sebagai berikut :
a.       Netral efektif.  Masyarakat kota memperlihatkan sifat yang lebih mementikan rasiopnalitas dan sifat rasional ini erat hubungan dengan konsep gesellschaft atau association.  Mereka tidak mau mencapuradukan hal-hal yang sifatnya emosional atau menyangkut perasaan pada umumnya dengan hal-hal yang sifatnya rasional, itulah sebab masyarakat itu disebut netral dalam perasaan.
b.      Orientasi diri. Manusia dengan kekutanya sendiri harus dapat mempertahankan dirinya sendiri pada umumnya dikota tetangga itu bukan orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan kita oleh karena itu setiap orang dikota terbiasa hidup tanpa menggatungkan diri pada orang lain, mereka cenderung untuk individualistik
c.       Universalisme.  Berhubungan dengan semua hal yang berlaku umumnya, oleh karena itu pemikiran rasional merupakan dasar yang sangat penting untuk universalisme
d.      Prestasi.  Mutu atau prestasi seorang akan dapat menyebabkan orang itu di terima berdasarkan kepadaian atau keahlian yang di milikinya.
e.       Heterogenitas.  Masyarakat kota lebih memperlihatkan sifat heterogen artinya terdiri dari lebih banayak komponen dalam susunan penduduknya.
Kita dapat membedakan antara masyarakat desa dengan masyarakat desa dengan masyarakat kota yang masing-masing punya karakteristik tersendiri, dengan fungsi-fungsi sosial struktur serta proses-proses sosial yang sangat berbeda-beda bahkan di katan berlawanan pula.  Perbedaan ciri antara kedua dapat di ungkapkan secara singkat menurut poplin (1972 ) sebagai beikut :

Masyarakat desa
Masyarakat kota
Prilaku homogeny
Prilaku heterogen
Prilaku yang di landasi oleh konsep kekeluargaan dan kebersamaan
Prilaku yang di landasi konsep pengdalan diri dan kelebagaan
Prilaku yang berorientasi pada tradisi dan status
Prilaku yang berorientasi pada rasionalitas pada fungi
Isolasi sosial sehingga statik kesatuan dan ketuhanan cultural banyak ritual dan nilai-nilai sacral
Mobilitas sosial sehingga dinamik kebauran dan dan nilai-nilai sekuler 
Kolektivitas
Individualisme

2.3.3  Bentuk Bentuk Aspek Kehidupan Masyarakat Perkotaan
Secara sosiologis penekananya pada kesatuan masyarakat industri, bisnis, dan wirausaha lainya dalam struktur yang lebih kopleks.  Secara fisik kota di namampakan dengan adanya gedung-gedung yang menjulang tinggi, hiruk pikuknya kendaraan, pabrik, kemacetan, kesibukan warga  masyarakat, persaingan yang tinggi, polusinya, dan sebagainya.  Secara sosial kehidupan cenderung heterogen, individual, persaingan yang tinggi yang sering kali menibulkan pertentangan atau koflik.  Muncul sebuah asumsi yang menyatakan bawah masyarakat kota itu pintar, tidak mudah tertipu, kecakapan dalam berpikir, dan bertindak, dan muda menerima perubahan itu tidak selamanya benar, karena secara implicit di balik semua itu masi ada masyarakatnya yang hidup di bawah standar kehidupan sosial. 
Untuk memahami secara rinci mengenai bentuk  kehidupan masyarakat perkotaan adalah sebagai berikut :
1.      Lingkungan umum dan orientasinya terhadap alam.   Bagi masyarakat kota cenderung mengebaikan kepercayaan yang berkaitan dengan kekuatan alam serta pola kehidupan yang mendasarkan pada rasionalnya.  Dan di lihat dari mata pencaharianya masyarakat kota tidak tergantung pada kekuatan alam, melaikan bergantung pada tingkat kemampuan untuk bersaing dalam dunia usaha.  Gejala alam itu bisa di pahami secara ilmiah dan secara rasional dapat di kendalikan.
2.      Pekerjaan atau mata pencaharian.  Kebanyak masyarakat bergatung pada pola industri (kapitalis). Bentuk pencaharian yang primer seperti sebagai pengusaha, pedagang dan buruh industri.  Namun ada sekelompok masyrakat yang bekerja pada sektor informal misalya pemulung, pengemis dan pengamen.  Selain yang di sebutkan di atas termasuk bentuk mata pencaharian sekunder.
3.      Ukuran komunitas.  Umumnya masyarakat perkotaan lebih heterogen di bandingkan masyarakat pedesaan.  Karena mayoritas masyarakat berasal dari sosio kultrasi yang berbeda-beda, dan masing-masing dari mereka tujuan yang bermacam-macam pula dan antaranya ada yang menempuh pendidikan.  Jumlah penduduknya masi relatif besar.
4.      Kepadatan penduduk.  Tingkat kepadatan di kota lebih tinggi bila di bandingkan di desa, hal ini di sebabkan oleh kebanyakan penduduk di daerah perkotaan wilayanya dari berbagai daerah
5.      Homogenitas dan heterogenitas.  Dalam struktur masyarakat perkotaan yang sering kali nampak adalah heterogenitas dalam cirri-ciri sosial, piskologis, agama, dan kepercayaan,adat istiadat dan prilakunya.  Dengan demikian struktur masyrakat perkotaan sering mengalami interaksi sosial, mobilitas sosial, dan dinamika sosial.
6.      Diferensiasi sosial.  Di daerah perkotaan, diferensiasi sosial relatif tinggi, sebab tingkat perbedaan agama, adat istiadat, bahasa, sebab tingkat perbedaan agama dan sosiokultural yang di bawah oleh pendatang dari berbagai daerah cukup tinggi.
7.      Pelapisan sosial.  Lapisan sosial lebih di dominasi oleh perbedaan status dan peran dalam struktur masyrakat. Di dalam struktur masyarakat modern lebih menghargai prestasi dari pada keturunan.
8.      Mobilitas sosial.  Mobilitas pada masyarakat perkotaan lebih dinamis dari pada masyarakat pedesaan.  Kenyataan itu adalah sebuah kewajaran sebab perputaran uang lebih banyak terjadi di daerah perkotaan dari pada pedesaan.
9.      Interaksi sosial.  Dalam interaksi sosial pada masyarakat perkotaan lebih kita kenal dengan yang namanya gessesichaft yaitu kelompok patembayan.  Yang mana ada hubungan timbal balik dalam bentuk perjanjian-perjanjian tertentu yang orintasinya adalah keutungan atau pamrih.  Sehingga hubungan yang terjadi hanya seperlunya saja.
10.  Pengawasan sosial.  Dikarenakan masyarakat yang kurang saling mengenal satu sama lain dan juga luasnya wilayah kultural perkotaan di tambah lagi keheterigenitasan masyaratnya yang membuat sistem pengawasan sosial prilaku antara anggota masyarakatnya makin sulit terkotrol
11.  pola kepemipinan.  Kepemimpinanya didasarkan pada pertanggung jawaban secara rasional atas dasar moral dan hukum.  Dengan demikian hubungan antara pemimpin dan warga masyarakatnya berorientasi pada hubungan formalitas.
12.  Standar kehidupan.  Standar kehidupan di ukur dari barang-barang yang di anggap punya nilai (harta benda).  Mereka lebih mengenal deposito atau tabungan.  Karena menurut mereka menyimpan uang dalam bentuk deposito di anggap lebih pratis dan mudah.  Ditambah lagi kepemilikan barang-barang mewah lainya.
13.  Kesetiakawanan sosial.  Ikatan solidaritas sosial dan kesetia kawanan lebih renggang.  Artinya hubungan untung rugi lebih dominan dari pada kepentingan solidaritas dan kesetiakawanan.
14.  Nilai dan sistem nilai. Nilai dan sistem nilai di dalam struktur masyarakat perkotaan lebih bersifat formal di dasarkan aturan-aturan yang resmi seperti hukum dan perudang-undangan.





2.4  KONSEP KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN
2.4.1    Model Kebijakan Pembangunan Kota
Model penentuan kebijakan pembangunan kota melalui mekanisme rembug kebijakan atau Musrenbang sebenarnya sudah baik, akan tetapi dalam implementasinya dinilai masih kurang sesuai harapan masyarakat.  Karena itu model yang perlu dirumuskan dalam menentukan kebijakan pembangunan kota berdasarkan strategi yang melibatkan masyarakat secara aktif sebagai stakeholders tetapi pemerintah juga harus menyerap partisipasi dengan mempertimbangkan dasar skala prioritas pembangunan yang akan dilakukan dan ketersediaan dana yang tersedia.  Selama ini dalam merumuskana kebijakan pembangunan kota aspirasi masyarakat sudah mulai diperhatikan pemerintah dan DPRD tetapi sifatnya masih terbatas. Menurut Esmi Warassih, untuk mewujudkan tujuan kebijakan pembangunan sebagaimana yang diharapkan masyarakat, maka sejak awal pembentukan kebijakan perlu dipikirkan model perencanaan yang dipilih secara cermat.
Model perencanaan yang melihat fungsi perencanaan sebagai mekanimes untuk mengubah suatu keadaan dikenal mechanistic action model atau social engineer- ing model (Poerbo, 1995).  Model ini menekankan peranan perencanaan sebagai usaha untuk mensistimasi aspirasi masyarakat dan menyususn dalam dokumen tertulis.  Model ini melihat masyarakat sebagai sesuatu yang turbulent atau penuh dengan nilai sosial-budaya dan dinamis.  Masyarakat bukan sub sistem yang tersubordinansi, melainkan merupakan subsistem yang mandiri.  Model ini sangat penting dan berarti karena nilai-nilai dan norma masyarakat lokal terlibat dalam proses pembangunan kebijakan yang menentukan tindakan-tindakan selanjutnya dalam pencapaian tujuan kebijakan.  Pendekatan partisipasi dapat memberikan tempat kepada masyarakat untuk melakukan negosiasi dengan pemegang kekuasaan dan gagasan mereka merupakan bahan dalam pembentukan kebijakan hingga tingkat implementasinya.
Menurut Guritno Soerjodibroto, dalam merumuskan kebijakan pembangunan kota terdapat model yang dikenal City Development Strategy (CDS), di dalammnya terdapat mekanisme pengambilan kebijakan yang bercirikan,
1.      Adanya pelibatan secara aktif dan efektif stakehorlders, kota yang difasilitasi oleh Tim Kerja Stakeholders (TKS).
2.      Eksploitasi secara optimal melalui berbagai media dalam upaya untuk desiminasi informasi dan lebih mengenalkan ke masyarakat terkait dengan program CDS dan hasil-hasilnya.
Pemberdayaan stakeholders melalui peningkatan kapasitas dan pengadaan mekanisme pengambilan keputusan yang sepenuhnya ditentukan oleh mereka sendiri. Kegiatan pelaksanaan CDS meliputi,
1.              Rumusan profil kota sebagai referensi untuk mengangkat dan menetapkan isu-isu kota yang dianggap prioritas, yang kemudian disepakati bersama dalam sutu mekanisme konsultasi publik.
2.              Rumusan visi yang berupa visi pembangunan kota ataupun visi penanganan isu-isu penting yang diprioritaskan.
3.               Rumusan misi, sebagai upaya untuk mendistribusikan beban tugas ke pihak-pihak yang berkompeten.
4.              Rumusan strategi, yang disusun berdasarkan telaah SWOT yang dilaksanakan sesuai dengan kapasitas dan kesepakatan bersama.
5.             Rumusan program disusun melalui upaya elaborasi dan perumusan strategi dengan menemukenali unsur-unsur pokoknya.
Menurut Esmi Warassih, untuk mewujudkan tujuan kebijakan pembangunan sebagaimana yang diharapkan masyarakat, maka sejak awal pembentukan kebijakan perlu dipikirkan model perencanaan yang dipilih secara cermat.  Model perencanaan yang melihat fungsi perencanaan sebagai mekanis untuk mengubah suatu keadaan dikenal mechanistic action model atau social engineering model Model ini menekankan peranan perencanaan sebagai usaha untuk mensistimasi aspirasi masyarakat dan menyusun dalam dokumen tertulis. Model ini melihat masyarakat sebagai sesuatu yang turbulent atau penuh dengan nilai sosial-budaya dan dinamis.
Masyarakat bukan sub sistem yang tersubordinansi, melainkan merupakan subsistem yang mandiri.  Model ini sangat penting dan berarti karena nilai-nilai dan norma masyarakat lokal terlibat dalam proses pembangunan kebijakan yang menentukan tindakan-tindakan selanjutnya dalam pencapaian tujuan kebijakan.
Pendekatan partisipasi dapat memberikan tempat kepada masyarakat untuk melakukan negosiasi dengan pemegang kekuasaan dan gagasan mereka merupakan bahan dalam pembentukan kebijakan hingga tingkat implementasinya.
2.4.2    Pembangunan Perkotaan
Pembangunan atau development, menurut Spacy dan rekan-rekannya pada United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) dalam (Gie, 1999 : 32) menyatakan bahwa kata pembangunan bila digunakan secara sendiri bermakna kemajuan sosial dan ekenomi suatu komunitas.
Proses pembangunan meliputi lima pertumbuhan yang berlainan yaitu :
1.      Pertumbuhan ekstensif,  inilah pertumbuhan sederhana yang terjadi dengan menambahkan lahan-lahan pertanian atau bengkel-bengkel kerja baru yang berjenis sama dengan yang telah ada sebelumnya tanpa mengubah organisasi atau perlengkapannya.
2.      Penghimpunan modal tetap tanpa perubahan teknologi.
3.      Peningkatan terhadap struktur dan organisasi produksi.
4.      Alih teknologi secara horizontal.
5.      Pembaharuan teknologi asli dan penyebarannya dalam perekonomian nasional
Jika melihat pembangunan menurut Sadik dalam (Gie, 1999 : 33) bahwa dalam proses pembangunan pusat perhatian semula nyaris terbatas pada pertumbuhan ekonomi yang telah diredefinisikan sehingga kini penekanan berada pada pertumbuhan dengan keadilan dan pemenuhan terhadap Penyediaan layanan-layanan sosial yang penting.  Peningkatan pemasukan dalam pendidikan Memperluas peluang-peluang kerja Mengurangi perbedaan-perbedaan dalam pendapatan (Gie, 1999 : 33) Pembangunan adalah suatu proses yang terencana dalam mencapai perubahan secara teratur dan terarah untuk berkembang secara dinamis menuju kearah yang lebih baik dan modernitas diberbagai bidang.
Menurut (Siagian, 1983 : 2) pembangunan adalah suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana yang dilakukan dengan sadar oleh suatu bangsa, negara atau pemerintah menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building).
Dalam kaitan dengan definisi diatas, yaitu pembangunan sebagai nation building, maka pada (Mikkelsen,1995 :23) pembangunan sangat berkaitan erat dengan kebijakan dimana terdapat hubungan untuk keputusan yang diambil dalam sebuah kebijakan dalam kerangka pembangunan itu sendiri.
Hal ini dimaksudkan sebagai suatu upaya masyarakat bangsa untuk melakukan perubahan sosial dalam berbagai bidang kehidupan kearah masyarakat yang lebih maju dan baik sesuai pandangan masyarakat bangsa itu (Bintoro&Mustapadidjaja, 1996 : 4)
Masih menurut Bintoro & Mustapadidjaja bahwa, dalam proses pembangunan tersebut terdapat 5  dimensi yaitu :
1.      Kesejahteraan sosial ekonomi, terutama indikasi pertumbuhan tetap penting karena lebih mudah untuk dihitung (quantifiable).
2.      Dimensi transformasi sosial dan masyarakat tradisional kearah masyarakat yang maju dan modern.
3.      Pembangunan bangsa (nation building concept).
4.      Menempatkan keseimbangan antara manusia dan lingkungannya dalam proses pembangunan.
5.      Manusia sebagai pusat proses pembangunan.
Manurut Kuncoro, pembangunan dapat dilihat sebagai proses multi dimensi yang mencakup tidak hanya pembangunan ekonomi namun juga mencakup perubahan-perubahan utama dalam struktur sosial, perilaku dan kelembagaan.  Dalam upaya mewujudkan sasaran pembangunan di daerah yang optimal, pembangunan daerah membutuhkan peran serta dan partisipasi masyarakat daerah sehingga korelasi dan relevansi antara pemerintah dan masyarakat menjadi faktor yang sangat penting untuk mengembangkan suatu daerah dalam kegiatan pembangunannya (Kuncoro, 2004 : 14).
Pada hakikatnya usaha pembangunan merupakan suatu proses yang panjang semenjak dimulainya dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi terhadap pembangunan tersebut.  Dalam pembangunan masyarakat adalah objek sekaligus menjadi subjek dan sasaran dan pada saat yang sama juga merupakan unsur yang sangat dominan dalam peran sertanya untuk menentukan keberhasilan atau kegagalan upaya pembangunan yang dilaksanakan.
Banyaknya urusan yang diserahkan kepada daerah termasuk kewenangan dalam penggalian sumber-sumber pendapatan, menuntut pemerintah daerah untuk berupaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk menunjang pembiayaan kegiatan pembangunan dan pemerintahan di daerah. Di sisi lain, sumber daya alam yang akan habis suatu saat nanti membutuhkan pengelolaan yang dilakukan secara optimal.
Dalam kaitan tersebut sangat dirasakan pentingnya otonomi daerah yang telah dilaksanakan ini yaitu dapat memungkinkan efisiensi dalam pelaksanaan pembangunan didaerah, seperti halnya menurut Syafrudin bahwa : Pemerintah daerah lebih mengetahui mengenai keadaan daerahnya dari pada pemerintah pusat. Permasalahan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan didaerah yang muncul dapat lebih cepat diatasi karena pengetahuannya dibandingkan dengan pemerintah pusat.
Jumlah masalah relatif lebih kecil dari pada yang dihadapi oleh pemerintah pusat (Syamsi, 1986 : 24-25).  Sady menyatakan bahwa tujuan desentralisasi kepada daerah dalam pelaksanaan pembangunan dan kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah yang dilaksanakan di Indonesia adalah bertujuan untuk : Mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan tentang masalah-masalah kecil pada tingkat lokal.
Meningkatkan pengertian rakyat serta dukungan mereka dalam usaha pembangunan sosial ekonomi.  Demikian pula pada tingkat lokal, dapat merasakan keuntungan dari pada kontribusi kegiatan mereka sendiri.  Penyusunan program-program untuk perbaikan social ekonomi pada tingkat local sehingga dapat lebih realistis.  Melatih masyarakat untuk bisa mengatur urusannya sendiri.
Pembinaan kesatuan nasional (Tjokroamidjojo, 1996 : 4).  Namun sejauh dari berbagai konsep yang disampaikan diatas, bumi dan manusia sebagai wujud dari area pembangunan itu sendiri mengalami nasib yang sangat memprihatinkan dari segala apa yang dinamakan pembangunan.  Pada laporan PBB tentang perencanaan dan kebijakan sosial pada tahun 1969 dalam International Social Development Review seperti yang dikutip oleh Gustavo Estefa menyebutkan bahwa “fakta dalam pembangunan mengabaikan atau dalam beberapa hal bahkan menciptakan daerah-daerah miskin, kemandegan (staqnasi), keterpinggiran (marginality) dan pengucilan nyata (exclusion) dari kemajuan sosial dan ekonomi sangat jelas dan mendesak untuk diabaikan” ( Mushendra, 2002 : 26).
Korten dalam bukunya “Munuju Abad 21” lebih jauh memojokkan kondisi dunia sebagai akibat pembangunan selama dasawarsa terakhir ini. Masalah-masalah yang ditimbulkan adalah pada tiga hal yaitu, kemiskinan, kerusakan lingkungan hidup dan tindak kekerasan komunal.  Krisis pada tiga hal ini muncul pada tahun 1980-an (Korten, 2000 : 1).
Konsep pembangunan kota sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan konsep pembangunan pada umumnya. Dalam hal ini kota hanya sebagai sasaran dari pembangunan.  Pembangunan sering diartikan sebagai perubahan, modernisasi dan pertumbuhan (Bryant &White, 1987 : 3).  Tetapi sebenarnya pembangunan memiliki arti yang lebih dari sekedar kata-kata itu. Pengertian pembangunan harus dapat dilihat secara dinamis dan bukan dilihat sebagai konsep statis.  Pembangunan adalah suatu orientasi dan kegiatan usaha yang tanpa akhir (Tjokromidjojo, 1989 : 45).
Proses pembangunan sebenarnya merupakan suatu perubahan sosial budaya.  pembangunan agar menjadi suatu proses yang dapat bergerak maju atas kekuatan sendiri tergantung kepada manusia dan struktur sosialnya, sehingga tidak hanya yang dikonsepsikan sebagai usaha pemerintah saja.  Pembangunan tergantung dari suatu “innerwill”, proses emansipasi diri dan suatu partisipasi kreatif dalam proses pembangunan hanya menjadi mungkin karena proses pendewasaan (Tjokromidjojo, 1989: 1).  Selain itu definisi pembangunan yang diungkapkan oleh Michael P.  Todaro merupakan “Suatu proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap-sikap mental yang telah terbiasa dan lembaga-lembaga nasional termasuk pula percepatan atau akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketimpangan dan pemberantasan kemiskinan yang absolut” (Todaro dalam Aminuddin dan Mursyid, 1983 : 124-125).   Pembangunan merupakan upaya sadar untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya guna meningkatkan mutu kehidupan rakyat melalui berbagai sektor pembangunan.
Pada dasarnya kawasan perkotaan dapat tumbuh dan berkembang dengan sendirinya secara alamiah atau dikembangkan melalui proses pertumbuhan yang direncanakan, diarahkan dan dikendalikan yang dikenal dengan istilah Pembangunan Perkotaan.  Pembangunan perkotaan pada hakekatnya mencakup pembangunan fisik, sosial,ekonomi dan budaya. Pembangunan fisik kota dilakukan melalui upaya perencanaan dan pencanangan fisik perkotaan yang dituangkan dalam “Rencana Penataan Ruang Kota”, pembangunan sarana dan prasarana perkotaan serta pembangunan fisik lainnya, baik lingkungan fisik alamiah maupun lingkungan binaan. Upaya pembangunan non fisik mencakup pembangunan yang berkaitan dengan masalah sistem kepranataan sosial, sistem kelembagaan dan administrasi, mobilisasi pendanaan dan pengembangan sumber daya manusia (Dit, BTPP, Ditjen Cipta Karya, 1996 : 8-9).
2.5  Kerangka Pikir
Untuk mengetahui  bentuk- bentuk perlawanan sosial masyarakat marginal perkotaan  terhadap kebijakan pembangunan kota di Kelurahan Wua-Wau Kecamatan kadia kota kendari, maka penulis membuat bagan sebagai berikut :
Kebijakan pembangunan
 
 
Bentuk-bentuk gerakan
-          Gerakan perpindahan
-          Gerakan ekspresif
-          Gerakan utopia
-          Gerakan reformasi
-          Gerakan refolusioner
-          Gerakan perlawanan



 










                                                        BAB III
METODE PENELITIAN          
a.      Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Kelurahan Wua-Wua Kecamatan Kadia Kota Kendari, dengan pertimbangan bahwa di lokasi tersebut terjadi permasalaan sengketa lahan  antara masyarakat marginal perkotaan dengan pemerintah provinsi Sulawesi tenggara.
b.      Informan Penelitian
Informan penelitian ini diambil secara sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan bahwa mereka adalah masyarakat marginal perkotaan yang melakukan bentuk-bentuk perlawanan terhadap kebijakan pembangunan kota, sehingga mampu menjawab permasalahan penelitian ini, terkait dengan masalah faktor-faktor penyebab terjadinya permasalaan tersebut maka peneliti juga menambahkan informan pendukung yakni kepala Kelurahan Wua-Wua.
3.3.  Jenis dan Sumber Data
3.3.1        Jenis Data
    Adapun jenis data penelitian ini adalah jenis kualitatif. Jenis data kualitatif adalah data yang merupakan penjelasan-penjelasan, uraian-uraian yang di deskripsikan.
3.3.2        Sumber Data
Selain itu dalam penelitian ini diperoleh pula sumber data yang terdiri atas dua bagian yaitu :
a.    Primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sejumlah informan penelitian melalui tahap wawancara mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya permasalahan sengketa tanah antara masyarakat marginal perkotaan dengan pemerintah kota kendari
b.    Data Sekunder yaitu berupa catatan-catatan dari dokumen yang terdapat di kantor kelurahan wua-wua kecamatan kadia kota kendari
3.4   Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Studi kepustakaan (Library Studi) yaitu cara memperoleh data dengan mempelajari literatur dan bahan tertulis lainnya yang ada hubungan dengan judul penelitian.
2.      Penelitian Lapangan (field reseach) yaitu cara memperoleh data dengan menggunakan penelitian langsung dilapangan, penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data primer melalui teknik :
a.       Observasi yaitu teknik dengan mengamati langsung objek penelitian mengenai perlawanan masyarakat marginal perkotaan terhadap pemerintah profinsi terkait dengan permasalahan sengketa tanah yang berada di kelurahan wua-wua kecamatan kadia kota kendari.
b.      Wawancara yaitu mengadakan tanya jawab secara langsung dari informan.  Dalam wawancara ini digunakan pedoman wawancara secara sistematis berdasarkan permasalahan yang diteliti untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang perlawanan masyarakat marginal perkotaan terhadap pemerintah profinsi
c.       Dokumentasi yaitu sumber informasi yang berupa bukti tertulis mengenai karakteristik lokasi penelitian baik berupa dokumentasi pribadi maupun resmi.
3.5   Analisis Data
Data yang diperoleh nantinya akan diolah dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif, yakni untuk mendapatkan gambaran sistematik tentang bentuk-bentuk perlawanan masyarakat marginal perkotaan terhadap kebijakan pembangunan kota  yang mengacu pada konsep Mils dan Habeman dalam Satori dan A’an (2010), yaitu menggambarkan secara sistematik dan mendalam setiap masalah yang telaah.  Analisis yang berlangsung melalui empat tahap yakni pertama, data collection (tahap pengumpulan data) yaitu pada saat proses memasuki lingkungan penelitian dan melakukan pengumpulan data penelitian.  Kedua, data reduction (tahap reduksi data) yaitu pada saat proses pemilihan data, pemutusan perhatian pada, pemusatan perhatian pada penyerderhanaan, pengabstrakan dan tranformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis dari lapangan.  Ketiga, data display (tahap penyajian data) yakni penyajian informasi dalam memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.  Keempat , tahap pemeriksaan kesimpulan, pada tahap ini penarikan kesimpulan dari data yang telah di analisis, sehingga akan diharapkan penelitian benar-benar menggambarkan kenyataan.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar